Samosir-Mediadelegasi : Di jantung Tanah Batak, di ketinggian yang disapu angin sepoi-sepoi Tele, berdiri megah sebuah kawasan yang selama ini menjadi nadi kehidupan bagi masyarakat sekitar: Kawasan Tombak Raja Tele. Luasnya lebih dari 4.500 hektar, bukan sekadar hamparan hijau yang terlihat di peta, melainkan sebuah ekosistem kompleks yang menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna, sumber air, dan kehidupan manusia. Ia adalah warisan leluhur yang tak ternilai, sebuah permata alam yang menjanjikan masa depan yang lebih baik. Namun, keindahannya kini terancam oleh ambisi manusia yang tak kenal batas.
Dahulu, Tombak Raja Tele berstatus hutan lindung, sebuah kawasan yang dijaga kelestariannya demi keberlangsungan hidup semua makhluk di sekitarnya. Namun, status tersebut telah dicabut, digantikan oleh sebutan Areal Penggunaan Lain (APL) dengan dalih pembangunan dan investasi. Pertanyaan mendasar pun muncul: untuk siapa pembangunan ini? Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari pengubahan status ini?
Investigasi lapangan, kesaksian warga, dan dokumen resmi menunjukkan adanya potensi eksploitasi besar-besaran di kawasan ini. Bukan lahan pertanian rakyat yang dikembangkan, melainkan ruang bagi perusahaan-perusahaan raksasa, beberapa di antaranya bahkan memiliki rekam jejak yang buruk dan pernah tersandung kasus hukum. PT EJS dari Korea Selatan dan PT GDS dari Indonesia, misalnya, datang dengan janji-janji manis, namun meninggalkan luka mendalam bagi lingkungan dan masyarakat.
Tombak Raja Tele merupakan daerah resapan air utama, berperan krusial dalam menampung, menyaring, dan menyuplai air bagi kehidupan di sekitarnya, hingga ke Danau Toba. Jika kawasan ini rusak, debit air sungai akan menurun drastis, mata air akan mengering, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura yang memasok listrik bagi Sumatera Utara akan terancam. Suhu akan meningkat, iklim berubah, dan bencana alam akan menjadi ancaman yang tak terelakkan.
Kekayaan hayati Tombak Raja Tele juga terancam. Anggrek Batak (Hartina), flora langka endemik, hanya ditemukan di kawasan ini. Jika habitatnya hilang, anggrek ini pun akan punah, sebelum sempat dikenal dan dipelajari oleh dunia. Ini seperti membakar buku sebelum sempat dibaca, menghancurkan pengetahuan yang belum sempat diwariskan kepada generasi mendatang.
Dari sisi sosial, konflik antar masyarakat adat mulai muncul. Tanah ulayat direbut secara sepihak, hak warisan leluhur dirampas, dan kesatuan komunitas mulai retak. Bukan hanya pohon yang tumbang, kepercayaan dan rasa keadilan pun ikut runtuh.
Pemerintah daerah Kabupaten Samosir, alih-alih memberikan solusi, justru seakan menambah masalah. Tempat pembuangan sampah dibangun dekat kawasan hutan, program pertanian di ribuan hektar lahan dijalankan tanpa kajian matang, berujung pada kegagalan dan pemborosan. Reboisasi dilakukan seadanya, tanpa melibatkan dan memberdayakan masyarakat. Kebakaran hutan pun terus terjadi dari tahun ke tahun, meninggalkan abu dan trauma yang mendalam.
Kita semua tahu bahwa hutan adalah paru-paru bumi, sumber obat-obatan, pangan, dan harapan. Namun, kita masih memperlakukan hutan seolah-olah dapat ditebang hari ini dan tumbuh kembali esok. Padahal, hutan tua yang hilang tak akan pernah kembali dalam bentuk yang sama. Kita seperti petani yang memakan benih tanamannya karena lapar hari ini, lalu tak punya apa-apa untuk masa depan.
Kita menebang pohon yang mungkin menyimpan obat untuk kanker, atau yang bisa menjadi bahan pangan baru bagi dunia. Kita menghancurkan sesuatu yang bahkan belum sempat kita kenali sepenuhnya. Kerugiannya tak hanya ekologis, tetapi juga ekonomi dan sosial.
Kawasan Tombak Raja Tele harus dikembalikan ke status hutan lindung. Lebih dari itu, ia perlu diubah menjadi Kebun Raya Tombak Raja Tele, sebuah pusat konservasi, edukasi alam, dan penelitian hayati. Sebuah simbol bahwa masyarakat Batak tidak hanya mewarisi tanah ini, tetapi juga merawatnya untuk generasi mendatang.
Pemerintah harus menyusun kebijakan berbasis sains dan melibatkan masyarakat adat secara aktif. Izin-izin yang berpotensi merusak lingkungan harus dievaluasi dan dicabut. Penegakan hukum harus tegas dan tanpa pandang bulu. Partisipasi masyarakat lokal bukan sekadar formalitas, melainkan kunci keberhasilan dalam upaya pelestarian ini. Mereka adalah penjaga hutan sejati.
Tombak Raja Tele tak bisa bersuara. Namun, dari setiap pohon yang tumbang, setiap mata air yang mengering, setiap anggrek yang mati sebelum mekar, terdengar jeritan sunyi yang memilukan. Jeritan itu meminta pertolongan, memohon perlindungan.
Mari kita dengarkan jeritan sunyi itu. Mari kita bergerak bersama, sebelum terlambat. Jika kita gagal menyelamatkan Tombak Raja Tele, kita sedang menuliskan surat kematian bagi generasi mendatang. Kita akan mewariskan bukan keindahan alam, melainkan kerusakan dan penyesalan. Mari kita jadikan Tombak Raja Tele sebagai warisan yang membanggakan, bukan beban yang membebani. Mari kita jaga paru-paru Sumatera Utara ini.
Kepedulian kita terhadap Tombak Raja Tele adalah kepedulian terhadap masa depan. Ini bukan hanya tentang hutan, tetapi tentang kehidupan, tentang warisan, dan tentang tanggung jawab kita terhadap generasi mendatang. Mari kita bertindak sebelum semuanya menjadi sia-sia. Mari kita selamatkan Tombak Raja Tele.
Langkah konkret perlu diambil segera. Evaluasi izin usaha yang telah dikeluarkan, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan, dan program reboisasi yang melibatkan masyarakat adat adalah langkah-langkah penting yang harus dilakukan. Dukungan dari pemerintah pusat dan seluruh elemen masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan keberhasilan upaya pelestarian ini. Jangan sampai kita hanya menyaksikan kehancuran tanpa melakukan apa pun.
Mari kita bangun sinergi antara pemerintah, masyarakat adat, dan lembaga swadaya masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian Tombak Raja Tele. Pendidikan dan kesadaran lingkungan perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami pentingnya menjaga kelestarian alam. Pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara berkelanjutan, tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.
Tombak Raja Tele adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan budaya masyarakat Batak. Melestarikan kawasan ini berarti melestarikan warisan budaya dan sejarah. Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa masyarakat Batak mampu menjaga dan melestarikan lingkungannya untuk generasi mendatang. Mari kita jadikan Tombak Raja Tele sebagai contoh keberhasilan pelestarian alam di Indonesia. D|Red.
Baca artikel menarik lainnya dari
mediadelegasi.id di GOOGLE NEWS.
mediadelegasi.id di GOOGLE NEWS.






