Madina-Mediadelegasi: Wakil Sekretaris Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Madina, M Syawaluddin berharap, untuk meninjau kembali proses hukum Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) dan meminta Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (Komjak RI) harus turun dan menyelidiki permasalahan hukum ini di Madina. Sebab menurutnya, dalam perkara ini disinyalir kuat tercium aroma yang tak sedap.
“Komjak RI harus turun ke Madina untuk menyelidiki dan memeriksa perkara ini demi mendapatkan hukum yang berkeadilan. Karena, diduga ada halnya yang mencurigakan terjadi dalam proses hukumnya,” tandas Syawaluddin, Kamis (4/8), menanggapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas perkara PETI pada persidangan di Pengadilan,
Putra Marduri SH dalam perkara Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) membacakan tuntutannya, Kamis (04/08).
Dalam tuntutannya JPU Putra Marduri SH di hadapan majelis hakim, hanya menuntut 1 tahun penjara terhadap terdakwa AAN. Dan tuntutan ini berdasarkan pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Berdasarkan fakta dan bukti di persidangan, terdakwa terbukti bersalah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 161 UU No. 3 tahun 2020 tentang Minerba. Sehingga kami menuntut 1 tahun penjara dan denda uang 15 juta. Dan jika terdakwa tidak sanggup membayar denda, maka diganti hukuman pengganti selama 6 bulan penjara,” ungkapnya.
M Syawaluddin menilai bahwa, tuntutan yang dibacakan JPU, sangatlah rendah. Hal ini dikarenakan kegiatan penambangan ilegal ini bukan hanya merugikan masyarakat, namun juga berdampak pada rusaknya lingkungan.
“Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh terdakwa ini juga merusak lingkungan. Pelakunya harus diberi efek jera. Jika hanya dihukum dengan penjara satu tahun, ini sangat lah rendah,” ungkapnya.
Kemudian lanjutnya, adanya dugaan temuan baru dalam fakta persidangan (Novum, red), baik itu dari keterangan saksi operator ekskavator dalam berkasnya yang dibacakan JPU saat itu, saksi pengawas ekskavator dan bukti-bukti dalam persidangan seperti 4 karpet dan 1 ekskavator yang tak dapat di hadirkan dalam persidangan (DPB) jelas lebih mengarah kepada pasal 158 UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba tentang perubahan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Dan hal ini dikuatkan juga oleh keterangan saksi ahli dari ESDM yang menegaskan bahwa, kasus PETI yang disidangkan ini, lebih tepatnya dikenakan di pasal 158 bukan pasal 161 UU No. 3 tahun 2020 tentang Minerba,” tegasnya. D|Tim