Anehnya, PT TPL terkesan tidak transparan terkait detail dan letak geografis dari 28.340 hektare lahan konsesi yang ada di Tapanuli Selatan, karena diduga kuat perusahaan tidak punya peta lokasi lahan konsesi itu.
“Kita sangat menyayangkan TPL selalu mengandalkan Izin Kementerian tanpa memikirkan aspek historis yang lebih panjang dan lebih berhak atas lahan, saat bersamaan TPL tidak mampu menunjukkan detail letak dan batas konsesinya, justru lahan yang telah lama menjadi budidaya masyarakat diklaim sebagai milik TPL, tentu ini sangat tidak bisa diterima masyarakat,” ungkapnya.
Di sisi lain, TPL kini juga sedang mengincar lahan di Kabupaten Padang Lawas (Palas) lewat skema kemitraan dengan Kelompok Tani Hutan, saat ini rencana dengan Gapoktan Bukit Mas. Rencana ini juga telah memicu konflik di Kecamatan Sosopan, Palas.
Perluasan lahan tanam TPL dengan cara apapun dikhawatirkan tetap menimbulkan konflik dengan masyarakat, bahkan konflik horizontal, antara masyarakat dengan masyarakat, sebagai gejala yang terjadi di Kecamatan Sosopan, Kabupaten Palas.
Beberapa bulan terakhir ini, tuntutan masyarakat agar TPL segera ditutup semakin bergulir aktif. Di antaranya dari HKBP, dan elemen masyarakat Batak Toba dan Angkola di Tapsel.
Desakan penutupan ini kembali mencuat tentu setelah menyaksikan keberadaan PT TPL semakin hari semakin tidak relevan bagi kepentingan kehidupan masyarakat luas dan masa depannya.
Ansor menilai, Pemerintah Provinsi Sumut dan pusat sangat layak mempertimbangkan tuntutan masyarakat ini. Menurutnya, pendapatan yang disumbangkan TPL kepada negara tidak sebanding dengan kerugian moril, materil, dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Tuntutan masyarakat agar TPL ditutup, dicabut izinnya, saya kira sangat beralasan dan layak dipenuhi pemerintah, karena perusahaan ini telah banyak menimbulkan konflik di Sumatera Utara dan tidak berkesudahan, masyarakat telah banyak mengalami kerugian, hak-hak asasinya dirampas,” tukas Ansor. D||Red






