25 Tahun Reformasi, PENA 98 Sumut Gelar Diskusi Interaktif

25 Tahun Reformasi, PENA 98 Sumut Gelar Diskusi Publik
Mantan aktivis gerakan mahasiswa Sumatera Utara (Sumut) tahun 1998 masing-masing Dadang Darmawan (kedua kanan), J. Anto (kedua kiri) dan Nicodemus Sitanggang (kiri) menjadi pembicara dalam acara diskusi interaktif yang digelar Persatuan Nasional Aktifis 98 (PENA 98) dalam rangka peringatan 25 Tahun Reformasi, di aula kampus Unika Santo Thomas Medan, Selasa (9/5). Foto: Dngt

Medan-Mediadelegasi: Persatuan Nasional Aktifis 98 (PENA 98) Sumatera Utara (Sumut) memperingati 25 Tahun Gerakan Reformasi dan menggelar diskusi interaktif bertema ‘Kami Menolak Lupa’ di aula kampus Universitas Katolik (Unika) Santo Thomas Medan, Selasa (9/5).

Acara memperingati 25 tahun reformasi tersebut turut dihadiri sejumlah mantan aktivis mahasiswa di Sumut pada masa Reformasi Tahun 1998, antara lain Nicodemus Sitanggang, Patricius Rajagukguk, Andi Siahaan, Jansen Sihombing, dan Liston Hutajulu yang juga sebagai Ketua Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Sumut.

Sedangkan peserta diskusi berasal dari kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Medan, antara lain Unika Santo Thomas Medan, USU, Unimed, Universitas Darma Agung, UISU, Unpab, Universitas HKBP Nommensen, Unpri, Amik Medicom, Politektik MBP, Universitas MBP, Universitas HKBP Nomensen Siantar, dan Universitas Simalungun Indonesia (USI).

Bacaan Lainnya

Sebelum acara diskusi dimulai, Rektor Unika Santo Thomas Prof. Dr. Maidin Gultom, SH, M.Hum dalam kata sambutannya mengapresiasi penyelenggaran peringatan 25 tahun Reformasi yang diisi dengan diskusi publik.

Pada kesempatan itu, Maidin Gultom memberikan cinderamata berupa ulos dan souvenir kepada pembicara yang juga para mantan aktivis mahasiswa saat reformasi 1998, masing-masing Dadang Darmawan Pasaribu (dosen Universitas Medan Area), J Anto (peneliti dan jurnalis) serta Nicodemus Sitanggang yang dikenal sebagai salah satu Presidium Nasional PENA 98.

Dalam acara diskusi tersebut, Dadang Darmawan mengungkapkan bahwa pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 silam masih menyisakan pekerjaan rumah yang penting untuk diselesaikan, terutama soal kesejahteraan rakyat.

Dadang menegaskan bahwa Gerakan Mahasiswa 98 memiliki kesadaran, keberanian dan pengorbanan menghadapi rezim represif dan otoriter Orde Baru.

“Gerakan 98 diawali dengan kejatuhan ekonomi global yang diawali oleh Argentina pada tahun 1996, kemudian merembet ke Amerika dan juga Indonesia. Mahasiswa saat itu dipertemukan olehinformasi yang ada di media. Lalu dengan kesadaran, keberanian dan pengorbanan, seluruh mahasiswa menyatukan tekad dan perjuangan yaitu Indonesia tanpa Soeharto,” paparnya.

Gerakan reformasi, lanjutnya, kemudian melahirkan perubahan sistem yang sebagian besar sudah terwujud dan hasilnya telah dnikmati hingga kini, di antaranya penghapusan dwi fungsi ABRI, perubahan sistem pemilu dan kepartaian serta perlindungan HAM.

Lebih lanjut Dadang mengatakan bahwa kalangan generasi muda di era sekarang ini penting untuk mengingat sejarah dan memutus mata rantai kekuasaan Orde Baru dengan tidak membiarkan kekuatan Orde Baru kembali mengkonsolidasikan diri.

Pembicara lainnya J. Anto mengungkapkan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk kekerasan rasial yang dirasakan oleh sejumlah etnis Tionghoa di Indonesia.

“Serangan rasialisme yang paling tragis itu adalah pada peristiwa tragedi Mei 1998 danyang menjadi sasaran itu adalah etnis Tionghoa. Kekerasan fisik, seksual, pemerkosaan dialami warga Tionghoa, termasuk di Sumatera Utara. Jangan sampai kita mengulangi lagi sejarah kelam politisasi identitas yang mungkin berpotensi muncul menjelang pemilu 2024,” ujar J Anto.

Sementara Nicodemus Sitanggang mengatakan mahasiswa pada 1998 melakukan demonstrasi besar-besaran karena berawal dari rasa kekecewaan terhadap jalannya pemerintahan Soeharto

Disebutkannya, gerakan reformasi tahun 1998 yang melibatkan sejumlah elemen mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia telah banyak membawa perubahan, meski masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang belum selesai.

“Karena itu, generasi muda harus mampu melihat masa depan yang lebih baik, termasuk dengan memilih pemimpin yang tepat untuk kemajuan bangsa,” ucap Nicodemus.

Ia memaparkan, ada delapan kriteria pemimpin versi PENA 98 yang perlu dipertimbangkan demi kesinambungan reformasi.

Delapan kriteria pemimpin Indonesia versi PENA 98 tersebut, yaitu, pertama, menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI, menghormati keberagaman, dan merawat kebhinekaan.

Kedua, bukan bagian dari rezim Orde Baru, ketiga, tidak punya rekam jejak terlibat dalam penggunaan politik identitas, keempat, tidak pernah terlibat dalam pelanggaran HAM, kelima, tidak pernah terlibat kasus korupsi.

Keenam, melanjutkan program kerja Presiden Joko Widodo, berkomitmen memperjuangkan agenda reformasi, menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan mewujudkan reforma agraria.

Sedangkan kriteria kedelapan, yakni berkomitmen melakukan upaya-upaya memperkuat ekonomi kerakyatan yang berkeadilan serta berpihak kepada rakyat. D|rel

Pos terkait