Medan-Mediadelegasi: Delima Silalahi yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara terpilih sebagai aktivis lingkungan akar rumput pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai peraih Anugerah Lingkungan Goldman atau Goldmad Prize 2023.
“Saya sangat gembira walaupun saya sadar bahwa ini bukanlah perjuangan saya sendiri. Ini adalah kemenangan buat gerakan Masyarakat Adat di Indonesia. Perjuangan hak atas tanah, hak atas identitas kita itu tidak turun dari langit. Itu diperjuangkan. Kita tidak sedang melanggar hukum. Ada konstitusi yang menjamin perjuangan kita. Negara tidak akan memberikannya begitu saja kepada kita,” kata Delima dalam keterangan tertulis yang diterima mediadelegasi.id, di Medan, Rabu (26/4).
Delima yang juga menjabat sebagai direktur eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Parapat menjadi satu-satunya wakil Indonesia yang mendapat penghargaan dari Goldman Environmental Foundation sekaligus mewakili kategori Pulau dan Negara Kepulauan.
Ia berharap penghargaan tahunan itu diharapkan menginspirasi masyarakat untuk beraksi melindungi Bumi.
“Apresiasi ini menjadi sesuatu yang menyemangati saya kembali untuk terus bergerak dalam isu-isu lingkungan dan masyarakat adat tentunya,” kata Delima.
Sebagai aktivis lingkungan, ia mengaku banyak menghabiskan waktu di hutan di Sumatera utara untuk memperjuangkan hak masyarakat adat yang lahannya direbut perusahaan pulp dan kertas besar untuk ditanami eukaliptus.
Padahal, lanjutnya, tanaman itu bukan merupakan tanaman asli dan dikembangkan secara monokultur.
Menyikapi hal itu, Delima bersama gerakan masyarakat sipil di Sumut akhirnya berhasil mengambil kembali lahan yang menjadi hak enam kelompok masyarakat adat.
Pada Februari 2022, Pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 hektare hutan adat kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak.
Enam kelompok masyarakat adat Tano Batak yang mendapatkan pengakuan penggunaan lahan. Keenam komunitas adat itu adalah Pandumaan Sipituhuta, Nagasaribu Onan Harbangan, Bius Huta Ginjang, Janji Maria, Simenak-menak, dan Tornauli Aek Godang Adiankoting.
Enam kelompok masyarakat adat itu berkomitmen untuk melestarikan hutan adat mereka dan menyatakan siap merealisasikan program pemulihan kawasan hutan adat mereka dengan mulai menanam kembali spesies hutan asli, termasuk pohon kemenyan.
“Saya sangat gembira walaupun saya sadar bahwa ini bukanlah perjuangan saya sendiri. Ini adalah kemenangan buat gerakan Masyarakat Adat di Indonesia. Perjuangan hak atas tanah, hak atas identitas kita itu tidak turun dari langit,” tuturnya.
Delima bukan yang pertama mendapat penghargaan serupa. Sebelum Delima ada Loir Botor Dingit (1997), Yosepha Alomang (2001), Yuyun Ismawati (2009), Prigi Arisandi (2011), Aleta Baun (2013), dan Rudi Putra (2014) yang berhasil mendapatkannya.
Sebagaimana diinformasikan, Goldman Environmental Prize dirintis di San Francisco pada 1989 oleh pemuka masyarakat dan filantropis Richard dan Rhoda Goldman.
Hingga kini, Goldman Environmental Prize telah memberi penghargaan kepada 219 pemenang, termasuk 98 perempuan di 95 negara. D|rel