Samosir-Mediadelegasi: menyoroti krisis ekologis yang mengancam Danau Toba dan Samosir. Penulis, Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, menarik analogi dengan “Pemusnahan Empat Hama” di Tiongkok untuk menggambarkan bahaya mengabaikan prinsip ekologi dalam pengelolaan lingkungan. Kerusakan lingkungan di Samosir saat ini ditandai dengan pembalakan liar, kebakaran hutan, pencemaran perairan dari industri perikanan, dan pertanian monokultur yang merusak kesuburan tanah.(4/06)
Pembalakan liar, terutama di Kecamatan Simanindo, Ronggur Nihuta, dan Palipi, bukan hanya merusak alam, tetapi juga memicu konflik manusia-satwa. Kebakaran hutan yang seringkali disengaja untuk membuka lahan pertanian semakin memperburuk kualitas udara dan mengancam keanekaragaman hayati. Industri perikanan yang menggunakan pakan kimia menyebabkan pencemaran berat dan pertumbuhan gulma air yang mengganggu nelayan. Pertanian intensif berbasis kimia, khususnya budidaya jagung monokultur, mengikis kesuburan tanah secara sistematis.
Meskipun regulasi perlindungan Danau Toba sudah ada, termasuk Perpres No. 81 Tahun 2014, Permen PUPR No. 28 Tahun 2015, dan Perda Sumut dan Samosir tentang RTRW, implementasinya di lapangan masih lemah. Garis sempadan danau minimal 50 meter seringkali dirambah untuk berbagai aktivitas tanpa izin lingkungan yang sah. Aparat penegak hukum dan pemerintah daerah dinilai kurang tegas dalam menegakkan aturan.
Krisis ekologis di Danau Toba tidak hanya berupa degradasi lingkungan, tetapi juga krisis etika ekologis. Penulis menyebutnya sebagai “keserakahan yang dilembagakan,” yang akan berdampak buruk pada generasi mendatang. Kerusakan lingkungan ini menunjukkan kemerosotan moral dan spiritual manusia terhadap alam.
Penulis mempertanyakan strategi konkret Pemerintah Pusat, Pemprov Sumut, dan Pemkab Samosir dalam menyelamatkan Danau Toba. Ia mendesak pemerintah untuk menegakkan regulasi dengan tegas, melibatkan masyarakat adat, dan menerapkan pembangunan berkelanjutan yang seimbang antara ekonomi dan pelestarian lingkungan. Jika tidak segera diatasi, Danau Toba berisiko berubah menjadi zona bencana ekologis yang tak bisa dipulihkan.
Artikel ini diakhiri dengan seruan untuk segera bertindak menyelamatkan Danau Toba dan Samosir sebelum terlambat. Penulis menekankan pentingnya belajar dari sejarah, berpihak pada ilmu pengetahuan dan nilai-nilai ekologis, serta mengambil tindakan nyata untuk melindungi warisan alam ini.D|Red