Forum Dialog “Ngopi Kebangsaan” Merawat Kebhinnekaan

Forum Dialog "Ngopi Kebangsaan" Merawat Kebhinnekaan Bangsa
Guru Besar Universitas Negeri Jambi Prof. Dr Sihol Situngkir, MBA (ketiga kanan) dan para tokoh agama foto bersama usai mengikuti diskusi bertajuk "Ngopi Kebangsaan" di rumah dinas Wakil Wali Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu (19/3) pekan lalu. Foto: dok

Medan-Mediadelegasi: Forum dialog bertajuk “Ngopi Kebangsaan” yang mulai digelar secara terjadwal mulai tahun 2023 oleh perkumpulan Reformasi Humanis Etika Madani (RHEMA) dinilai sebagai salah satu upaya efektif merawat kebhinekaan bangsa Indonesia di tengah keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan.

Setelah Jakarta pada 5 Januari 2023, perkumpulan RHEMA memilih Kota Solo menjadi kota kedua untuk menyelenggarakan acara rutin Ngopi Kebangsaan, pada Sabtu (18/3) di rumah dinas Wakil Wali Kota Solo.

Dari keterangan tertulis perkumpulan RHEMA yang diterima mediadelegasi.id Medan, baru-baru ini, Forum dialog Ngopi Kebangsaan tersebut menghadirkan Guru Besar Universitas Negeri Jambi Prof. Dr Sihol Situngkir, MBA sebagai ketua tim perumus dan pemandu diskusi yang diikuti seluruh narasumber.

Bacaan Lainnya

Ketua Umum Perkumpulan Rhema Dwi Urip Premono mengatakan, dari hasil Ngopi Kebangsaan yang pertama, peserta yang hadir pada acara tersebut mengharapkan kegiatan ini bisa terus berlanjut dan menyentuh banyak kabupaten dan kota di Indonesia.

“Karena isu-isu kebangsaan pada setiap daerah, wilayah memiliki karakteristik masing-masing. Dari situ diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi daerah lain. Sehingga kita cukup komprehensif untuk membahas masalah kebangsaan ini,” ujarnya.

Ia menekankan, ada dua semangat yang ingin terus dikembangkan melalui kegiatan Ngopi Kebangsaan ini, yakni semangat kesetaraan dan toleransi kembar.

“Semangat kesetaraan ini bagi kami harus mendahului semangat toleransi. Jadi setara dulu semua agama harus merasa dan memperlakukan penganut agama yang lain setara. Baru setelah itu memiliki sikap toleran. Sebab kalau belum berdasarkan kesetaraan itu sifatnya agak rapuh,” tambahnya.

Kesetaraan, menurut dia, ada dasar legalnya yaitu Pancasila. Ketika negara ini berdiri, bersepakat Ketuhanan Yang Maha Esa itu untuk menunjukkan kesetaraan semua yang ada di negeri ini.

Dwi Urip mengungkapkan tidak berhenti sampai pada langkah tersebut. Setelah setara dan toleran harus mengembangkan kerja sama.

“Harus ada langkah menuju kesana. Ngopi Kebangsaan ini menjadi awal dengan menggandeng peran para tokoh agama. Pentingnya peranan tokoh agama sebagai “opinion leader ” yang didengar oleh umat,” ujarnya.

Semangat kedua, lanjut Dwi, adalah toleransi kembar antara lembaga agama dan lembaga negara.
Kedua lembaga tersebut harus mengetahui batasan masing-masing sehingga tidak menguasai, sehingga kalau kondisi ideal ini sudah terwujud, goalnya adalah kondisi yang aman, damai, rukun di tengah kemajemukan.

Lebih lanjut ia menilai semangat kerukunan terasa sekali di Solo. Pihaknya yakin kondisi ini dari unsur kearifan lokal Kota Solo.

“Nilai-nilai yang turun temurun dari generasi terdahulu mau tidak mau sudah jadi bagian internal dalam diri kita, warga Solo, ditambah lagi semakin kuat dari ajaran agama masing-masing. Yang semua agama mengajarkan kebaikan,” paparnya.

Karena itu, Dwi menyatakan tidak sependapat jika ada pendapat yang menyatakanSolo sebagai kota sumbu pendek.

Dia justru berharap Solo menjadi contoh bagi daerah lain bagaimana nilai-nilai agama berpadu dengan nilai budaya.

“Perpaduan nilai ini bisa menjadi landasan moral personal maupun landasan moral kebangsaan,” tuturnya saat menjadi pembicara di hadapan peserta diskusi Ngopi Kebangsaan yang turut dihadiri para tokoh lintas agama dan masyarakat umum ini.

Mencermati pernyataan dari beberapa narasumber lainnya, Dwi melihat kondisi Kota Solo sendiri sudah sangat baik, termasuk dari sisi nilai-nilai kulturalnya.

“Dan itu bukan barang yang tercipta kemarin atau tahun lalu. Ini sudah turun temurun, sudah lama,” tambahnya.

Menanggapi kuatnya pengaruh budaya asing di tengah perkembangan teknologi digital dewasa ini, menurut dia, salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana ancaman ini tidak menggoyahkan sendi-sendi landasan moral yang sudah baik selama ini.

Artinya, harus ada langkah-langkah antisipasi untuk menjauhkan segala bentuk ujaran kebencian, prasangka.

Salah satu pemateri, Romo Budi mengapresiasi kegiatan Ngopi Kebangsaan yang bertujuan merawat kebhinnekaan di Tanah Air

“Saya sangat mengapresiasi teman-teman RHEMA yang mengadakan roadshow ke berbagai kota untuk Ngopi Kebangsaan ini,” ucapnya.

Untuk meneguhkan semangat kebangsaan yang kuat dalam keberagaman, kata dia, mutlak dibutuhkan persatuan, cara pandang positif, dan cara pandang yang baik antarsesama umat manusia.

Menurutnya, akar rumput kerukunan dapat diibaratkan seperti Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) atau pewarisan sifat bangsa Indonesia.

“Akar rumput kerukunan adalah DNA kita, maka yang harus diantisipasi adalah bagaimana kita membentengi diri dari setiap hembusan informasi hoax, adu domba dan menyebar prasangka buruk terhadap orang lain,” ujarnya.

Romo Budi menyebut persaudaraan yang sejati dibangun ketika manusia membuang semua prasangka dan dengan penuh kasih memandang positif siapapun.

Ia mencontohkan indahnya keberagaman seperti alat musik saxofon, artinya ada yang berukuran kecil, sedang dan besar.

Ketika saxofon dipergunakan secara sendiri-sendiri dipastikan tidak bisa berfungsi menciptakan karya orkestrasi yang baik.

Namun, ketika ditiup secara bersama dengan dibarengi spirit dan nafas kebaikan, maka akan melahirkan keindahan menjadi sesuatu yang mempersatukan dan memperkuat persaudaraan.

Akar rumput
Kota Solo, kata dia, patut dijadikan sebagai salah satu contoh daerah dengan gerakan akar rumput kerukunan bersama seniman, budayawan, penyair, generasi muda dan elemen masyarakat lainnya.

Forum dialog Ngopi Kebangsaan tersebut juga menghadirkan narasumber lain, yakni Dr. Aloys Budi Budi Purnomo, Pr dari unsur Katolik yang juga pengajar program doktor ilmu lingkungan Unika Soegijapranata Semarang.

Narasumber dari unsur Kristen adalah Retno Ratih, M.Th., M.A., pendeta GKJ Manahan Solo.

Forum diskusi bertajuk Ngopi Kebangsaan kali ini menghadirkan narasumber, yakni Dr. Aloysius Budi Purnomo, Pr dari unsur Katolik yang juga adalah pengajar program doktor ilmu lingkungan Unika Soegijapranata Semarang, dan Retno Ratih, M.Th, MA selaku pendeta Gereja Kristen Jawa Manahan Solo.

Pemateri lainnya adalah Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Solo KH. Muhammad Mashuri, SE, M.Si, Sugito, S.Pd dari Dewan Pengurus Sapta Darma Solo, Ida Bagus Komang Suarnawa dari unsur Agama Hindu, Bhante Dammamito dari unsur Agama Buddha, Js Tjhie Djiwatman dari Dewan Rohaniawan Matakin Solo.

Sugito mewakili Dewan Penguru Sapta Darma Solo membuka pemaparan dengan mengangkat pesan ‘Jauhkan dari Kedengkian’.

Dalam korelasinya dengan hubungan keseharian, ia menjelaskan bahwa dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara harus diawali dengan menjauhi rasa dengki.

Sementara itu, Bhante Dammamito yang juga mewakili Bhikku Pembinaan Umat Buddha Yogyakarta mengutarakan soal strategi demi mencapai kebahagiaan yang ditinjau dari ajaran Buddhis.

“Kalau hidup kita didasari saling memberi dan berbagi, maka kita dapat rukun antara satu dengan yang lain. Lalu menjadi orang suka berkumpul dan berkata-kata yang menyenangkan,” tambahnya.

Narasumber lainnya, yakni Js Tjhie Djiwatman dari Dewan Rohaniawan Matakin Solo memaparkan tentang upaya merajut kerukunan yang mesti didasari dengan menjauhi rasa permusuhan.

Pernyataan hampir senada juga diutarakan Ida Bagus Komang Suarnawa yang juga Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia atau PHDI Kota Surakarta.

Menurutnya, ajaran luhur agama adalah konsep pengajaran yang berdasar pada nilai kebenaran dan keadilan, sebagaimana terkandung di dalam Pancasila.

Sedangkan Romo Aloysius Budi Purnomo, Pr menganalogikan semangat harmonisasi yang mampu dihidupkan dengan adanya peran dari masing-masing anak bangsa yang memang sudah ditakdirkan untuk dilahirkan berbeda.

“Keberagaman itu indah ketika dihayati tanpa prasangka dan curiga. Menghargai keberagaman merupakan cerminan dari keimanan,” tuturnya.

Mewakili umat Kristen, Pimpinan Gereja Kristen Jawa jemaat Manahan Solo, Pendeta Retno Ratih dalam paparannya antara lain mengenalkan ajaran Kristiani yang bertumpu kepada kasih.

“Konsep kasih memiliki arti yang sangat luas tanpa memandang perbedaan latar belakang, termasuk ketika hasus mengasihi orang yang memusuhi diri kita sendiri,” kata Retno.

Ia mengingatkan bahwa jika permusuhan diselesaikan dengan permusuhan permusuhan, maka dipastikan tidak akan menciptakan perdamaian.

Dalam konteks keimanan, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Solo KH. Muhammad Mashuri, menegaskan bahwa konsep tertinggi dalam keimanan dalam ajaran Islam adalah memahami dan mempraktikkan apa yang dimaksud dengan hakikat.

Ditambahkannya, ketika seorang penganut ajaran Islam sudah mencapai level hakikat, maka dirinya sudah “selesai” dengan dirinya sendiri, sehingga dia tidak akan mengganggu hak orang lain.

Karena itu, ia menyayangkan jika sampai saat ini masih ada penganut agama Islam yang mengusung fanatisme berlebihan hingga menjadi dasar pembenaran untuk melanggar hak orang lain.

“Banyak yang masih melanggar hak orang lain dan banyak yang masih fanatik berlebihan,” ujar Kyai Mashuri. D|Red