Medan-Mediadelegasi : Provinsi Aceh memiliki sejarah yang panjang dan kompleks dalam perjalanan administratifnya. Sebelum resmi menjadi provinsi otonom, Aceh pernah menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Status sebagai provinsi baru benar-benar sah pada tahun 1956 melalui pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1956.
Pada masa kolonial Belanda, seluruh Pulau Sumatera berada di bawah struktur Gouvernement van Sumatra yang dipimpin oleh seorang gubernur berkedudukan di Medan. Setelah Indonesia merdeka, Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi: Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Utara mencakup tiga keresidenan, yaitu Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli.
Aceh sempat menjadi provinsi tersendiri pada 17 Desember 1949 berdasarkan keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Namun, keputusan ini kemudian dianulir dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 5 Tahun 1950, yang kembali menetapkan keberadaan Provinsi Sumatera Utara dan memasukkan Aceh di dalamnya.
Status Aceh sebagai keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara sempat menimbulkan gejolak politik dan ketegangan sosial. Kekecewaan terhadap pencabutan status provinsi memicu keresahan di kalangan masyarakat Aceh. Kondisi ini mendorong pemerintah pusat untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
Akhirnya, melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 1956, Pemerintah Indonesia secara resmi membentuk Provinsi Aceh. UU ini diundangkan pada 7 Desember 1956 dan menetapkan wilayah Provinsi Aceh mencakup seluruh bekas wilayah Keresidenan Aceh.
Selanjutnya, lewat Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Swatantra Tingkat I dan pada 27 Januari 1957, A. Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Provinsi Aceh pertama.
Status Aceh kembali mengalami perubahan penting pada 26 Mei 1959, ketika melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959, Provinsi Aceh diberi predikat sebagai Daerah Istimewa. Dengan predikat ini, Aceh memperoleh hak otonomi luas di bidang agama, adat istiadat, dan pendidikan.
Status ini merupakan bentuk penghargaan atas peran penting Aceh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Presiden Soekarno bahkan menjuluki Aceh sebagai “Daerah Modal” karena kontribusinya yang besar dalam mendukung revolusi kemerdekaan, termasuk bantuan dana dan logistik bagi pemerintah pusat saat itu.
Selain alasan historis, faktor geografis dan budaya juga memperkuat status istimewa Aceh. Letaknya yang strategis di jalur pelayaran internasional telah lama menjadikan Aceh sebagai wilayah yang diperebutkan, baik oleh kolonial Belanda maupun Inggris.