Samosir-Mediadelegasi: Pembangunan jembatan Jalan Tano Ponggol, Kelurahan Pasar Pangururan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, tampaknya menuai kepiluan bahkan bikin meradang, khususnya bagi warga yang terdampak gantirugi pembebasan lahan.
Buktinya, persoalan gantirugi itu kini bergulir ke ranah Ombudsman RI, gara-gara harga lahan yang digantikan dipandang tak sesuai. Mirisnya lagi, terhadap warga yang lahannya terdampak dari pembangunan itu muncul ungkapan-ungkapan bernada menekan.
Dan anehnya, meski masalah pembebasan lahan terbilang belum kelar, namun pekerjaan pembangunan Jembatan Tano Ponggol yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) itu, pelaksanaanya terbilang mulus.
Setidaknya, informasi di atas itu diperoleh dari salahsatu warga, adalah Sangkot Manurung SHMH, yang lahannya terdampak pembebasan untuk pembangunan Jembatan Tano Ponggol tersebut, kepada wartawan di Pangururan, Kamis (5/2)2021).
Dikatakan Sangkot, untuk memperjuangkan nilai gantirugi lahan atas dampak pelebaran jalan Tano Ponggol yang terletak di Kelurahan Pasar Pangururan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir berbagai upaya dilakukan.
Di antaranya, lanjut Sangkot, membuat surat Laporan Ke Ombudsman, persisnya pada, 28 Desember 2020. “Hal itu kami lakukan setelah surat sebelumnya tidak ditanggapi Bupati Samosir dan Kepala Balai Besar Pelaksaan jalan Nasional Sumatera Utara di Medan,” ungkapnya.
Dijelaskan, Sangkot Manurung yang juga kuasa dari warga lainnya yang terdampak pembebasan lahan, adalah Renta Naibaho, Topen Sihaloho dan Lereminta Naibaho itu, bahwa Ombudsman RI merespons surat mereka.
Sangkot Manurung merinci, adapun respon Ombudsman RI itu adalah dengan menerbitkan surat pemberitahuan dan informasi dengan surat nomor: B/1302/LM.36/1279.2020/XII/2020, tanggal, 28 Desember 2020.
Sangkot Manurung juga membeberkan, kalau upaya mereka itu juga mendapatkan dukungan warga dan ada beberapa orang mau bergabung dari kelurahan Siogung-Ogung, namun belakangan mereka jadi ragu karena dipengaruhi dengan ungkapan bernada menekan yang bergulir ke mereka.
Adapun ungkapan miris bernada menekan itu, jelas Sangkot Manurung, yakni, bila warga tak menerima uang pembebasan lahan, maka dampaknya ke depan uang gantirugi akan dititip di pengadilan.
“Mendengar bahasa Pengadilan itu, tentulah orang kampung ciut nyali dalam memperjuangkan hak mereka, dan menerima begitu saja ganti rugi lahan yang nilainya terbilang tak pantas tersebut,” beber Sangkot.
Ditambah lagi, bilang Sangkot, warga juga dipengaruhi oknum-oknum yang diduga utusan mafia duit rakyat dengan ungkapan-ungkapan miris lainnya, adalah “Tidak mungkin harga bisa berubah karena itu ketentuan pemerintah pusat”.
Dari cibiran bin ungkapan bernada menekan dan mempengaruhi warga itulah, terang Sangkot Manurung, maka berdampak mengganggu mental masyarakat yang minim pendidikan.
Menurut Sangkot Manurung, lebih baik jika pemerintah merelokasi lahan masyarakat terdampak pembebasan pembangunan Jalan dan Jembatan Tano Ponggol. “Apalagi sisa tanah dari yang telah digantirugi tersebut akan sulit dipergunakan sesuai kebutuhan, sementara nilai tanah pada masyarakat sekitar akan bertambah tinggi.
Atas kemajuan pembangunan, jelas Sangkot Manurung, sebaiknya pemerintah lebih tepat jika merelokasikan tanah ke tempat yang bisa lebih mensejahterakan.
Sangkot juga mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintah Kabupaten Samosir beserta jajarannya hingga ke tingkat kelurahan. “Soalnya kami tak pernah diundang untuk pertemuan terkait ganti rugi yang akan dilakukan Pemerintah Pusat maupun daerah itu,” sebutnya.
Namun belakangan, persisnya setelah terjadi komplain masyarakat, salah satu pejabat balai dan Pemerintah Daerah Samosir mendadak mengirimkan undangan melalui nomor WhatsApp (WA) lurah, Kelurahan Pasar Pangururan.
Berhubung karena undangan yang mendadak itu, lanjut Sangkot Manurung, tidak memungkinkan untuk dihadiri, berhubungan, pada saat itu sebahagian warga menghadiri undangan pesta keluarga di Sumatera Barat. “Jadi tak memungkinkan untuk menghadiri pertemuan,” tuturnya. D|Sam-Jef.