“Memang ada along-along datang setiap hari ke desa itu, tapi harga jual kebutuhan dapur yang dibawanya lumayan mahal. Sementara para pengumpul kopi petani dari desa itu juga memperhitungkan medan jalan yang sulit dengan membeli biji kopi warga di bawah standar,” ulas Ibu Mulainta Br Sitindaon.
Belum lagi, hasil panen kopi yang alakadar. “Luas ladang kopi tidak sebanding dengan pendapatan panen karena mahalnya harga pupuk dan langkanya pupuk bersubsidi,” tutur Ibu Sitindaon.
Deretan problema yang masih membuat warga merana di ‘negeri indah kepingan surga’ patut menjadi perhatian pemerintah. “Ya… hendaknya pembangunan yang merata,” ketus Ibu Sitindaon sambil menggeser sirih tembakau dalam kulumannya. (habis)
Catatan | Maruli Agus Salim | Mediadelegasi