Medan-Mediadelegasi: Video berisi penjelasan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang analogi pengaturan kebisingan menuai kritisi bermacam-macam. Komentar pro kontra pun mengalir kencang, menyusul klarifikasi dari pihak Kementerian Agama dan ditolaknya laporan Roy Suryo di Polda Metro Jaya karena alasan locus delicti (di luar wilayah hukum). Guru Besar Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Prof DR Katimin MAg ketika dimintai komentarnya, Jumat (25/2), di Medan, terkait narasi Yaqut di video viral itu, tegas menyebutkan bahwa tingkat sensitif umat semakin tajam, sehingga menapikan pemahaman terhadap makna narasi.
BACA JUGA: Alasan Locus Delicti, Polda Metro Jaya Tolak Laporan Roy Suryo
“Hemat saya, kasus ini mencuat kencang cenderung menyalahkan Yaqut, juga kental dengan muatan provokasi dan trend viral yang menjadi kepentinggan pemain maya,” katanya.
Menurutnya, narasi Gus Yaqut dalam video saat kunjungannya ke Pekanbaru, Riau Rabu lalu itu, tidak ada membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing. “Setelah berulangkali kita simak narasi video singkat itu, bahwa perlu mengatur volume toa masjid dan musala, karena azan dilantunkan secara bersama-sama saat waktu salat tiba,” katanya.
BACA JUGA: Menag Yaqut Jangan Lupakan Harmoni Kebangsaan
Kemudian, jelas Katimin, Yaqut menarik contoh berbalik, bagaimana jika toa di rumah ibadah saudara kita non muslim juga keras. Lalu, tentang suara bising, Yaqut mencontohkan lagi dengan analogi gonggongan anjing peliharaan warga satu komplek. Jelas perlu ada regulasi batas maksimum level suara demi ketentraman dan harmonisasi umat.
“Ini memang ranahnya Kementerian Agama. Jangan langsung digoreng-goreng sehingga berpotensi memecah kerukunan di tengah kadar sensitifisme masyarakat yang cukup menajam dewasa ini,” katanya.
Apalagi, kata Katimin, pihak Kementerian agama menyampaikan klarifikasi dan menjelaskan sebelum narasi video Yaqut itu, regulasi pengaturan volume toa masjid telah dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022. Isinya mengatur penggunaan pengeras suara di masjid serta musala seperti volume suara maksimal 100 desibel.
Berikut narasi video Gus Yaqut mengatur tingkat kebisingan dan analoginya: “Hampir setiap 100 meter-200 meter itu ada musala, masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka semua menyalakan toa, itu bukan lagi syiar tapi gangguan buat sekitarnya. Kita bayangkan lagi, saya ini muslim, saya hidup di lingkungan non muslim. Kemudian rumah ibadah saudara kita non muslim itu bunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan, itu rasanya bagaimana. Yang paling sial lagi, tetangga kita ini, kalau kita hidup dalam satu komplek itu misalnya, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semuanya. Misalnya menggonggong dalam waktu yang bersamaan ni, kita ini terganggu nggak. Artinya apa, suara-suara anjing, apa pun suara itu ya. Ini harus kita atur, supaya tidak menjadi gangguan.” D|Red-06