Kemudian, jelas Katimin, Yaqut menarik contoh berbalik, bagaimana jika toa di rumah ibadah saudara kita non muslim juga keras. Lalu, tentang suara bising, Yaqut mencontohkan lagi dengan analogi gonggongan anjing peliharaan warga satu komplek. Jelas perlu ada regulasi batas maksimum level suara demi ketentraman dan harmonisasi umat.
“Ini memang ranahnya Kementerian Agama. Jangan langsung digoreng-goreng sehingga berpotensi memecah kerukunan di tengah kadar sensitifisme masyarakat yang cukup menajam dewasa ini,” katanya.
Apalagi, kata Katimin, pihak Kementerian agama menyampaikan klarifikasi dan menjelaskan sebelum narasi video Yaqut itu, regulasi pengaturan volume toa masjid telah dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022. Isinya mengatur penggunaan pengeras suara di masjid serta musala seperti volume suara maksimal 100 desibel.
Berikut narasi video Gus Yaqut mengatur tingkat kebisingan dan analoginya: “Hampir setiap 100 meter-200 meter itu ada musala, masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka semua menyalakan toa, itu bukan lagi syiar tapi gangguan buat sekitarnya. Kita bayangkan lagi, saya ini muslim, saya hidup di lingkungan non muslim. Kemudian rumah ibadah saudara kita non muslim itu bunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan, itu rasanya bagaimana. Yang paling sial lagi, tetangga kita ini, kalau kita hidup dalam satu komplek itu misalnya, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semuanya. Misalnya menggonggong dalam waktu yang bersamaan ni, kita ini terganggu nggak. Artinya apa, suara-suara anjing, apa pun suara itu ya. Ini harus kita atur, supaya tidak menjadi gangguan.” D|Red-06