Medan-Mediadelegasi: Saksi Ahli pengadaan barang dan jasa juga ahli konstruksi dari Politeknik Negeri Medan, Drs Ir Edi Usman Sikumbang Sitompul MT.
Dalam keterangan nya mengatakan, kurang tepat bila unsur Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) dimintai pertanggungjawaban hukum bila misalnya ada kekurangan pembangunan fisik di lingkungan pemerintahan.
Pendapat itu disampaikan nya dalam sidang lanjutan perkara korupsi Rp731 juta terkait pekerjaan Rehabilitasi Daerah Irigas (DI) di Desa Sorkam Barat, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) TA 2015, Kamis (15/4/2021) di Cakra 4 Pengadilan Tipikor Medan.
Menjawab pertanyaan majelis hakim diketuai Syafril Batubara, ahli yang dihadirkan tim penasihat hukum (PH) terdakwa Sahrul Badri berpendapat, masalah pemeriksaan pekerjaan di lingkungan pemerintah bukan di tangan PPHP.
Tapi ada di tangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sebagai delegasi (mandatory) dari Pengguna Anggaran (PA), pengawas (konsultan) pekerjaan proyek serta kontraktor sebagai penyedia jasa. Ketiga pihak wajib hadir di pekerjaan proyek itu.
Bersama-sama melihat kondisinya pekerjaan di lapangan, siap menyatakan benar dan ditandatangani secara bersama-sama.Karena pekerjaan proyeknya TA 2015, imbuh ahli, Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dijadikan sebagai kerangka acuan.
Dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, harus dibedakan antara PPK dan PPHP. Sesuai Pasal 8 ayat 1, PPHP itu ditunjuk oleh PA. Sedangkan Pasal 95 ayat 2 PA melimpahkan wewenangnya kepada PPK.
“Ada namanya penunjukan Yang Mulia. PPHP itu ditunjuk. Bukan pelimpahan wewenang. Sedangkan pembentukan PPK berdasarkan SK juga oleh PA adalah mandatory,” katanya menjawab pertanyaan hakim anggota Felix Da Lopez.
Artinya, lanjut Usman, bila di kemudian hari ditemukan penyimpangan, maka mengacu Perpres Nomor 54 Tahun 2010, PA yang mengunjuk PPH justru yang patut dimintai pertanggungjawaban hukum.