BEGITU tamat SMA, sekolah ke kota menjadi kebanggaan anak desa tak terkecuali Nisa. Meski angan ini tergantung kemampuan uang orangtua. Apalagi bagi seorang anak perempuan, kebanyakan orangtua sulit melepasnya, termakan dengan cerita, hiruk-pikuk kota yang cukup mengabaikan cara-cara yang mentradisi di desa.
Nisa juga tidak percaya kalau orangtuanya memberikan izin sekolah ke kota. Bukan hanya karena level ekonomi keluarga yang amat rendah, tapi sang bunga desa yang hidup dalam pingitan keluarga, membuat niatan Nisa sekolah ke kota bagai angan belaka.
Sekolah di madrasah aliyah swasta sudah termasuk hal yang luar biasa bagi dia. Maklum saja, sulung dari lima bersaudara bukan dari keluarga berada. Ayahnya bekerja di sawah meminjam lahan tetangga, harus berbagi hasil panen dengan toke pupuk dan pemilik petak sawah. Sedangkan ibunya jualan pecal keliling desa dengan bersepeda.
Ponsel android dia tak punya, terkadang menjadi ejekan teman-temannya. Dia tidak mengerti facebook, WApp, instagram apalagi tiktok. Kesehariannya pergi ke sekolah, pulang dan membantu meracik pecal untuk jualan emaknya.
Di madrasah, gadis desa ini menjadi perhatian guru-gurunya. Kecerdasan yang dimilikinya membuat wanita ini lebih sempurna mengisi wajah jelita, berkulit putih dengan postur tubuh yang cukup untuk ukuran tinggi menjadi polisi.
Meski Nisa memiliki cita-cita kecilnya menjadi pengacara. Ini sesuai dengan karakternya yang bijak dalam berbicara, namun terkesan acuh terhadap teman-temanya yang lebih dekat dengan dunia maya. Cerdas cermat tingkat kabupaten dia juara, membawa nama harum madrasah tempatnya menimba ilmu pengetahuan untuk bekal masa depannya.
Hingga tamat Madrasah Aliyah Swasta, Nisa benar-benar tidak sempat mengenal cinta apalagi asmara. Meski di usia pubertas, Nisa bukan hanya dilirik para pria teman sekolahnya, anak muda desa tak sedikit mencari perhatian Nisa, termasuk guru muda di sekolahnya. *bersambung Sabtu depan