Sabar mengungkap adanya kejanggalan dalam proses pengosongan rumah Pintalan. “Terkesan tebang pilih, karena hanya rumah nenek Pintalan saja yang dikosongkan. Sementara bagunan dan rumah-rumah sepadanan atau sederetan rumah nenek tidak diganggu sama sekali,” ucap Sabar.
Sabar menjelaskan, bila dilihat dari tapal batas jarak rel ke rumah Pintalan, sekitar 23,6 meter. Sedangkan deretan rumah dan bangunan yang bersebelahan dengan rumah Pintalan, justru lebih dekat dengan rel.
“Kenapa perlakuannya hanya kepada Nenek Pintalan, padahal klien kami telah membayar pajak ke negara atas penempatan rumah itu,” terangnya.
Menanggapi pernyataan Manager Humas PT KAI Divre I Sumut Mahendro yang beredar di beberapa media pascapengosongan rumah Pintalan yang mengatakan pihaknya hanya mau mengamankan asset. Sabar justru mengatakan itu hanya alasan semata saja.
“Jika maksud pihak PT KAI pengamanan asset, seharusnya semua rumah dan bangunan yang ada di sebelah rumah Pintalan dikosongkan. Ini kenapa hanya rumah klien kami yang ditinggali sejak Tahun 1972 itu saja yang dikosongkan. Inikan janggal,” katanya.
“Kami berharap agar Pak Menteri yang terhormat melihat kondisi Pintalan saat ini setelah dipaksa keluar dari rumahnya. Klien kami ini orang susah yang sudah tidak bisa jalan. Harusnya negara hadir dalam kasus ini,” tegasnya.
Selain menyurati Menteri BUMN, tim hukum Pintalan juga menembuskan surat tersebut ke Presiden Jokowi, Komnas HAM, Kapolri, Menkumham, Gubernur Sumut, Walikota Medan dan Menteri Perhubungan. D|Red-09