Uji Kompetensi Wartawan: Syarat Mutlak atau Sekadar Anjuran? Perdebatan tentang Arah Jurnalisme Indonesia Kembali Mengemuka

Ketua Peradi SAI Purwokerto, H. Djoko Susanto, S.H. (Foto:Ist)

Jawa Tengah-Mediadelegasi : Pernyataan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah periode 2025-2030, Setiawan Hendra Kelana, dalam acara Diskusi dan Press Tour 2025 bertema “Jurnalis Mencerahkan, Bukan Meresahkan”, yang digelar di Andrawina Hall Hotel Owabong, Jumat (19/12), kembali membuka perdebatan mendasar tentang arah profesionalisme pers di Indonesia. Penyamaan profesi wartawan dengan advokat, terutama dalam konteks uji kompetensi, menuai kritik karena berpotensi menyesatkan pemahaman publik tentang hakikat kebebasan pers.

Tidak ada pihak yang menolak pentingnya kompetensi bagi seorang wartawan. Wartawan memang dituntut untuk memahami etika jurnalistik, hukum pers, serta teknik peliputan yang akurat dan bertanggung jawab. Namun, menjadikan profesi advokat sebagai rujukan adalah kekeliruan konseptual yang mendasar. Perbedaan antara wartawan dan advokat bukan sekadar soal teknis profesi, melainkan menyangkut filosofi dan kedudukan hukumnya dalam sistem demokrasi.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyatakan dalam Pasal 1 angka 4 bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Definisi ini menegaskan bahwa status wartawan ditentukan oleh praktik kerja jurnalistik itu sendiri, bukan oleh lisensi negara, sumpah jabatan, atau sertifikat tertentu. Wartawan adalah bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia untuk memperoleh dan menyampaikan informasi, sebagaimana dijamin Pasal 28F UUD 1945.

Bacaan Lainnya

Sebaliknya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Advokat merupakan profesi tertutup dan terregulasi secara ketat, mensyaratkan pendidikan, ujian, serta pengangkatan resmi sebelum dapat menjalankan praktik.

Pandangan kritis terhadap penyamaan tersebut disampaikan Ketua Peradi SAI Purwokerto, H. Djoko Susanto, S.H. Ia menegaskan bahwa meskipun wartawan dan advokat sama-sama profesi, keduanya berkembang dalam rezim hukum dan konteks sosial yang berbeda, terutama di era digital.

“Wartawan dan advokat memang sama-sama profesi. Tetapi seiring perkembangan zaman, khususnya di era digital, setiap orang pada dasarnya bisa mengabarkan peristiwa yang terjadi di ruang publik,” ujarnya.

Menurut Djoko Susanto, menjadikan uji kompetensi sebagai syarat utama untuk menjadi wartawan di tengah realitas tersebut justru tidak relevan. “Untuk menjadi wartawan tidak harus melalui uji kompetensi. Yang penting adalah kualifikasi yang jelas dan terukur melalui lembaga atau perusahaan pers. Dengan begitu, ketika ada keberatan atau sanggahan, ada subjek hukum yang bertanggung jawab,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa organisasi seperti PWI, IJTI, dan AJI bukanlah lembaga pemberitaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. “PWI, IJTI, dan AJI itu organisasi profesi, bukan lembaga pers. Ini berbeda dengan organisasi advokat yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Advokat. Untuk menentukan siapa lembaga pemberitaan yang sah, rujukannya tetap Undang-Undang Pers,” katanya.

Dalam konteks tersebut, Djoko Susanto menegaskan bahwa Uji Kompetensi Wartawan bukan kewajiban, melainkan anjuran. “UKW itu dianjurkan kalau boleh saya sebut ‘sunah’ bukan syarat utama menjadi wartawan,” ujarnya.

Lebih jauh, ia mengkritisi penggunaan diksi mencerahkan dan meresahkan yang kerap dilekatkan secara normatif pada kerja jurnalistik. Menurutnya, wartawan tidak dibebani kewajiban moral subjektif semacam itu. “Tugas wartawan itu mengabarkan. Tidak ada kewajiban khusus untuk mencerahkan atau meresahkan,” katanya.

Djoko Susanto menegaskan bahwa wartawan bukanlah pihak yang menentukan penilaian akhir atas suatu peristiwa. “Ya kan tugasnya mengabarkan, bukan memutuskan,” ujarnya. Dalam perspektif ini, jurnalisme berfungsi menyajikan fakta dan konteks, sementara penilaian diserahkan kepada publik dan mekanisme hukum yang berlaku.

Ia juga mengingatkan adagium klasik dalam dunia jurnalistik, *bad news is good news*, yang kerap disalahpahami. Berita buruk sering kali justru penting bagi kepentingan publik, selama disajikan secara akurat, berimbang, dan tidak didorong oleh kepentingan tersembunyi.

Pos terkait