ADA yang menarik ketika berlangsung syuting film dokumenter tentang prosesi pengobatan tradisonal di satu lokasi desa di Kabupaten Samosir, belum lama ini. Adegannya, seorang dukun sakti wanita yang disebut Sibaso Nabolon diperankan Emetikra Simbolon, sedang melakukan ritual persiapan pengobatan herbal tradisional di bawah pohon besar yang rindang.
Emetikra Simbolon, yang sehari-hari memang seorang tabib wanita yang mengelola klinik pengobatan alternatif dan tradisional di desa Cinta Dame Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Namanya Klinik ‘Emeni Herbal’ dengan layanan pengobatan yang sepenuhnya menggunakan bahan rempah-rempah dan dedaunan herbal yang diracik menjadi obat berupa minyak urut dan minuman semacam jamu tradisional.
“Tadinya saya agak ragu memenuhi tawaran syuting film dokumenter itu walapun hanya sebatas peran figuran. Tapi, tim film itu bilang syuting harus melibatkan langsung orang yang memahami secara penuh tentang aksi, isi dan misi dokumenternya, barulah saya iyakan (terima) karena peran ketabiban itu memang real profesi saya di dunia pengobatan tradisional,” ungkap Emetikra Simbolon kepada Mediadelegasi, Sabtu (19/3).
Jelang diskusi virtual (zoom meeting) tentang Kebudayaan Batak yang digelar Forum Batakologi Jakarta, dia mengungkapkan hal itu ketika menanggapi aksi seorang wanita pawang hujan yang viral ketika ‘mengendalikan’ hujan agar ‘pindah’ dari arena balapan Sirkuit Mandalika.
Emetrika memapaparkan, pembuatan film dokumenter itu terkait peranan seorang wanita dukun Batak atau Sibaso Nabolon dalam kisah terjadinya ‘Sigale-gale’ di Bumi Samosir. Sigale-gale (yang lemah gemulai dan lunglai) adalah satu atraksi tari yang menggunakan patung kayu menyerupai manusia, konon merupakan bagian ritual duka dalam prosesi penguburan mayat di kalangan suku Batak di Pulau Samosir dulunya.
Emetrika, selain sebagai tabib (Sibaso Nabolon), juga ternyata seorang seniman aktif di bidang tetarian Batak yang sehari-hari juga mengelola sanggar tari yang dinamai Sanggar Seni ‘Gok Asi’ (kasih sepenuh hati) di lokasi kliniknya juga, yang didirikan pada 7 September 2021. Emetrika mengaku pengelolaan sanggar itu bermula dari keterlibatan aktifnya dalam usaha pertunjukan Sigale-gale dan Tor-tor Batak yang dirintis orangtuanya (1990-1998) sebagai paket kunjungan wisata (destinasi) Kawasan Danau Toba, khususnya di Samosir.
“Aktivitas di sanggar seni ini memang dominan pada pemberdayaan anak-anak dan remaja sebagai generasi pelestarian budaya dan kearifan lokal (local wisdom) dalam kebudayaan Batak. Selain melatih anak-anak untuk bisa dan mahir menari (manortor), kita bersama tim instruktur juga melatih anak-anak bisa ‘marmonsak’ (olah raga beladiri tradsional Batak, mirip pencak silat). Ada juga sesi pelajaran khusus menuliskan aksara Batak serta kegiatan peduli kebersihan dan lingkungan hidup,” ujar wanita kelahiran 22 Maret 1962 itu dengan optimis.
Bahkan, ujar dia, besarnya atensi dan respon masyarakat di kalangan para orang tua anak didiknya, telah mendorong pengembangan program di sanggarnya. Misal, menggelar sesi latihan (semi kursus) bahasa asing seperti Bahasa Inggris dan Korea, menggelar latihan tetarian kreatif yang memadukan musik dan tarian tradisional dan modern. D|AFS