Oleh Prof Dr Drs. Sihol Situngkir, MBA
Medan-Mediadelegasi: Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI telah menetapkan sejumlah peraturan tata kelola pendidikan tinggi mulai dari undang-undang (UU), Permendikbud, Permendikristek, Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM), 8 Indikator Kinerja Utama (IKU), akreditasi Institusi, Prodi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) serta 6 lembaga akreditasi mandiri yang secara resmi diakui oleh BAN-PT.
Ironisnya masih terdapat sejumlah pelanggaran terutama terkait manipulasi data, sebagaimana diungkapkan oleh Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbudristek Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D, baru baru ini.
Prof. Nizam dalam siaran pers yang dirilis Ditjen Dikti, menyebutkan terdapat sejumlah kejahatan dalam pengelolaan pendidikan tinggi, antara lain perkuliahan fiktif, praktik jual beli ijazah, penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah).
Permasalahan lainnya, yakni layanan yang tidak sesuai dengan standar pendidikan tinggi, konflik yayasan yang membuat perkuliahan tidak kondusif dan modus lain berupa penerbitan ijazah tanpa proses pembelajaran yang baik.
Penulis merasa turut prihatin atas masih banyaknya PTS salah kelola pendidikan tinggi saat ini dengan temuan kasus 52 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia yang melakukan pelanggaran sepanjang tahun 2022-2023.
Hal ini benar-benar membuat malu bangsa dan negara Indonesia bila tercium oleh sejumlah penyelenggara perguruan tinggi dari negara-negara tetangga khususnya dan dunia umumnya.
Tujuan mulia penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seharusnya tidak dicemari oleh praktik manipulasi data.
Oleh karena itu, penulis menyatakan salut dengan ketegasan Dirjen Dikti untuk mencabut izin operasional 23 PTS di Indonesia.
Sangat menyedihkan, di satu sisi setiap perguruan tinggi di dunia saat ini sedang gencar-gencarnya berupaya sekuat usaha untuk meraih tata kelola Universitas yang baik atau “Good University Governance/GUG”, bahkan mengejar peringkat Universitas Berkelas Dunia atau “World Class University/WCU.
Sementara, di sisi lain masih ada PTS di Indonesia masih berkutat dengan sejumlah masalah yang mestinya tidak terjadi di lembaga edukasi sumber daya manusia (SDM) yang menelurkan ilmuwan-ilmuwan yang menjunjung nilai-nilai kemajuan Iptek dan calon-calon pemimpin bangsa Indonesia.
Berdasarkan telaahan penulis, di Indonesia saat ini terdapat 3.107 perguruan tinggi, sebanyak 2.982 atau 95 persen merupakan PTS dan hanya 125 atau 4,1 persen PTN dari total perguruan tinggi di Indonesia.
Dari hasil telaahan penulis, dari 52 PTS yang bermasalah saat ini, sebanyak 31 PTS atau 59,6 persen diantaranya berada di Pulau Jawa dan 21 PTS atau 40,4 persen berada di luar Pulau Jawa yang meliputi Sumatera, Bali, Kalimantan dan Sulawesi.
Kemristekdikti sudah tepat mengambil langkah tegas untuk memberi sanksi bagi PTS yang melakukan berbagai penyimpangan saat ini.
Kemendikbudristek saat ini dapat dengan mudah melacak, memonitor dan mengevaluasi berbagai data perguruan tinggi di pangkalan data Dikti sebagai bagian dari big data perguruan tinggi di Indonesia.
Artinya, Kemendikbudristek dapat lebih cepat melacak kecurangan atau manipulasi data yang dilakukan oleh perguruan tinggi di Indonesia.
Solusi strategis untuk menjaga tujuan pendidikan nasional dalam UU dan melaksanakan Permendikbudristek dan guna mencapai GUG, IKU, hingga WCU, maka sudah saatnya penyelenggara pendidikan tinggi dilaksanakan secara jujur, transparan dan akuntabel serta penuh integritas dari semua pihak di kalangan sivitas akademika perguruan tinggi untuk menjalankan tupoksi masing-masing.