Jakarta- Mediadelegasi: Kejahatan siber terus berkembang dengan pola yang semakin kompleks, seperti blast WhatsApp (WA) palsu.
Dari informasi dihimpun Mediadelegasi Medan, Senin (30/6), blast WhatsApp palsu adalah pesan yang disebarkan melalui WhatsApp blast (pengiriman pesan massal) yang berisi informasi palsu atau menyesatkan.
Modus ini sering digunakan untuk penipuan, penyebaran hoaks, atau upaya merugikan orang lain.
WhatsApp Blast (WA Blast) adalah metode pengiriman pesan massal melalui WhatsApp ke banyak penerima sekaligus, biasanya menggunakan layanan pihak ketiga atau API resmi WhatsApp.
Ini berbeda dengan fitur broadcast WhatsApp biasa yang memiliki batasan jumlah penerima dan memerlukan penyimpanan nomor kontak terlebih dahulu.
WA Blast memungkinkan pengiriman pesan ke ribuan nomor tanpa perlu menyimpan kontak, dan sering digunakan untuk keperluan bisnis dan promosi.
Ketua Sekretariat Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (PASTI) Otoritas Jasa Keuy (OJK), Hudiyanto, mengimbau pengguna ponsel agar tidak sembarang meng-klik link apapun yang berasal dari SMS, email ataupun aplikasi seperti WhatsApp atau Telegram.
Menurutnya, korban penipuan dunia maya atau phising baru sadar dia terkena phising pada saat korban selesai mengisi sebuah laman formulir yang berisikan data-data informasi yang sifatnya rahasia.
Berdasarkan data dari Indonesia Anti Scam Center OJK saat ini sudah lebih dari 153 ribu laporan diterima dengan jumlah dana para korban kejahatan siber mencapai Rp3,2 triliun dan rekening diblokir terkait dengan penipuan di sektor jasa keuangan mencapai 54 ribu lebih rekening.
Artinya, rata-rata per hari ada 718 laporan ke Indonesia Anti Scam Center yang dapat menunjukkan bahwa penipuan siber marak terjadi di Indonesia.
Data pribadi
Pemerintah sebenarnya telah mewanti-wanti masyarakat agar selalu menjaga informasi data pribadi dengan baik, seolah-olah seperti menjaga nyawa sendiri.
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menangani kejahatan siber mulai dari penguatan regulasi dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 adalah Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diresmikan pada 2 Januari 2024.
Penguatan dengan UU tersebut bertujuan agar para pelaku kejahatan siber berpikir dua kali sebelum melancarkan aksinya karena ancaman hukuman bagi para pelaku yaitu penjara enam tahun hingga denda Rp1 miliar.