Praktik culas lain adalah sistem kemitraan yang diberlakukan perusahaan media pada jurnalis.
Jurnalis tidak mendapat hak-hak sebagai pekerja, tetapi sebagai mitra yang harus mencari pendapatan sendiri.
Hal itu menjadikan jurnalis mengalami kekerasan ekonomi berupa kondisi hidup tak layak dari profesi yang dijalankan.
Hubungan industrial pekerja media (jurnalis) yang dirugikan itu juga disebabkan banyak perusahaan media memberlakukan sistem kontrak, mengacu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang jelas sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kondisi lain yang terjadi di kalangan pekerja media, yakni masih minimnya kesadaran berserikat akibat hegemoni perusahaan yang menekankan jurnalis bukan pekerja.
Hal itu ironis, kata dia, karena dalam praktiknya jurnalis diperintah dan menjalankan perintah serta mendapatkan imbalan dalam bentuk upah. Jurnalis juga buruh.
Bertepatan dengan perayaan Mayday tahun ini, AJI Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak pemerintah menjaga ekosistem bisnis media yang sehat, independen dan tidak partisan; Pemerintah dapat memasang iklan di media tanpa harus mencampuri ruang redaksi.
2. Mengajak buruh media membentuk serikat pekerja di perusahaan atau lintas perusahaan sebagai upaya menaikkan posisi tawar untuk menghentikan eksploitasi terhadap buruh medi.
3. Dewan Pers dan pemerintah segera membuat sistem pengawasan guna menghentikan eksploitasi buruh di media dan memastikan hak normatif buruh media terpenuhi.
4. Mendesak DPR segera revisi UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 yang pro buruh, sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja.
5.Mendesak perusahaan media untuk memberikan kompensasi layak bagi jurnalis atau pekerja media yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan adil dan bermartabat, minimal sesuai dengan undang-undang. D|Rel
Baca artikel menarik lainnya dari mediadelegasi.id di GOOGLE NEWS