Oleh Dr. Sonny W Manalu, MM
Medan-Media Delegasi: Seluruh Partai politik saat ini bisa ditengarai dalam posisi siaga satu menanti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Asumsi tersebut berkaitan erat dengan gugatan sekelompok orang yang menginginkan sistem Pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup.
Berbagai komentar termasuk pendapat para pengamat juga para politisi yang beragam menunjukkan kesan kekhawatiran jika MK bakal memutuskan ke sistem proporsional tertutup.
Penulis selaku kader Partai Golkar menilai, baik sistem pemilu proporsional terbuka maupun tertutup, adalah sama-sama pilihan yang demokratis jika dilihat dari sisi sistem politik yang berlaku umum di hampir semua negara yang menganut paham demokrasi.
Sistem proporsional terbuka berarti rakyat yang berdaulat penuh memilih caleg yang dikehendakinya diantara caleg yang telah dipersiapkan oleh partai.
Namun bagaimana jika para caleg tersebut melakukan berbagai cara yang bertentangan dengan norma dan sistem pemilu, seperti melakukan politik identitas dan politik uang dengan menyogok rakyat.
Apabila hal itu terjadi, maka sistem proporsional terbuka menjadi tidak bernilai demokrasi yang baik, bahkan berpotensi merusak demokrasi itu sendiri.
Sebab, akan menghilangkan nilai-nilai rasionalitas, baik nilai etik maupun nilai hukum.
Sedangkan, sistem proporsional tertutup, memberi ruang dan kewenangan penuh kepada pimpinan partai untuk menentukan siapa caleg yang akan dipilih dan ditetapkan menjadi calon terpilih.
Sistem pemilu proporsional tertutup ini tentunya bisa terealiisasi jika pimpinan partai politik yang bersangkutan konsisten menrapkan aturan internal partai, yakni menempatkan caleg yang paling memenuhi syarat berdasarkan merit system yang sudah ditetapkan.
Adapun indikator yang digunakan untuk menilai berdasarkan merit system, antara lain sisi kualitas, pengalaman, rekam jejak, dan moralitas.
Dengan demikian, maka dipastikan seluruh kader dan pekerja partai akan menerima apapun keputusan partai.
Nah bagaimana jika tidak. Tentunya, penolakan dari kader internal partai akan besar dan bahkan akan bisa menciptakan instabilitas dalam partai.
Oleh karena itu, penulis menyarankan
jika MK memutuskan kembali ke Pemilu sistem proporsional tertutup, maka partai harus segera menyiapkan kriteria dan persyaratan ketat dalam hal melakukan perangkingan merit system kader yang akan diajukan menjadi caleg.
Tentu setiap partai memiliki mekanisme dalam menetapkan kriteria caleg, sesuai kesepakatan internal.
Sebaliknya, jika tetap dengan sistem proporsional terbuka, maka partai juga harus menetapkan mekanisme pengawasan pola kampanye yang dilakukan para caleg.
Artinya, jika ada caleg terbukti melakukan politik identitas maupun melakukan money poltics atau politik uang, maka Bawaslu harus bertindak tegas.
Tindakan tegas itu harus dilakukan dengan mendiskualifikasi dan mencoret nama pelaku dari daftar caleg.
Upaya mewujudkan agar seluruh tahapan pemilu berjalan transparan dan demokratis, tentunya juga mutlak dibutuhkan peran nyata dari segenap elemen masyarakat dan Bawaslu.
Selain itu, peran antarsesama caleg sangat dibutuhkan untuk mengawasi kemungkinan tercorengnya proses pemilu dari praktik politik uang maupun politik identias.
Penulis secara pribadi berpendapat sesungguhnya tidak ada hal yang perlu khawatirkan mengenai sistem pemilu proporsional tertutup maupun terbuka.
Apalagi, jika partai politik konsisten mengedepankan merit system atas dasar pengalaman dan rekam jejak dalam menetapkan daftar urut caleg.
Oleh karena itu, penulis tetap percaya diri dan siap melangkah menyongsong Pemilu legislatif tahun 2024.***
Penulis adalah mantan birokrat karir di Kemensos RI, mantan pimpinan pengurus pusat Mapancas dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI).