Pun begitu kisah rebutan data jadwal pencairan dana PT BMA (perusahaan penggandaan uang tunai) pada 1999 di kompleks Tata Plaza Medan. Ketika itu, kubu member Henry Malau SH dan Ir Alfred Lubis menolak menggandakan (foto copy) data yang mereka tunjukkan dengan alasan belum tentu valid dan pasti, sementara kubu nasabah memaksa dengan alasan ingin tahu apakah namanya ada tertera di daftar atau jadwal itu. Ketika itu muncullah Ronald Siagian, seorang anggota OKP-IPK Helvetia, merampas dan merobek-robek bundel data itu. Selesai.
“Gabe mago ma kan, ndang di hamu ndang di hita. (Jadi raib (barang itu). Tidak di kau dan kita pun tak dapat apa-apa),” ujar seorang nasabah waktu itu dengan prihatin menyaksikan ‘hasil’ tidak untuk aku, tidak pula untuk kau (dang di-au dang di-ho).
Asal Mula Cerita
Ungkapan emosional yang menjadi munculnya istilah ‘menu begu’ atau ‘jatah si setan’ ini, konon bermula dari perseteruan dua pria sakti yang memperebutkan seorang wanita yang saling klaim bahwa wanita itu adalah isteri sah-nya. Entah tahun berapalah itu dulunya.
Alkisah, seorang pangeran muda baru menikahi seorang putri Si Boru Bontar (disamarkan, walau ada referensi formal) di satu dusun di Tanah Batak, sekitar Taput, kini Humbahas.
Usai pesta nikah yang meriah, si pangeran beserta keluarga dan orangtuanya membawa si Boru Bontar berangkat kembali ke kampung orang tua si pangeran di pesisir Tapanuli Tengah. Tapi di tengah jalan, persis ketika melintasi titian untuk menyeberangi Sungai Aek Sibundong, muncul seorang pria yang juga sakti, yang dijuluki si Hamang (manusia hantu) karena hanya bisa dilihat orang pada malam hari, atau terlihat siang hari oleh kalangan orang sakti pula.