Menurut Wilmar, ada tiga langkah konkret yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah harus memberlakukan moratorium total terhadap izin keramba baru, khususnya di zona-zona sensitif dan dekat objek wisata. Kedua, pemerintah harus mendampingi petani ikan untuk beralih ke sistem budidaya berbasis darat, seperti bioflok, serta mengembangkan ekonomi alternatif yang ramah lingkungan seperti ekowisata dan pertanian organik.
Ketiga, pemerintah harus konsisten. “Tidak bisa hari ini bicara pelestarian lewat kegiatan budaya seperti Toba Jou-Jou, lalu besok memberi lampu hijau pada aktivitas yang jelas-jelas merusak dan tidak berkelanjutan,” tegas Wilmar.
Pria yang kini tinggal di Samosir ini meminta agar arah pembangunan Danau Toba dijaga konsistensinya. Ia menekankan bahwa kebijakan lingkungan tidak boleh tunduk pada kepentingan sesaat. “Danau Toba adalah living heritage, bukan sekadar objek wisata,” katanya.
Menurutnya, Danau Toba sudah memiliki momentum yang kuat. Mulai dari “Toba Jou-Jou”, pengakuan sebagai UNESCO Global Geopark, hingga acara internasional seperti “King of the Trail”. Wilmar menegaskan, kini yang dibutuhkan adalah kemauan dan keberanian untuk benar-benar menyelamatkan Danau Toba dari kerusakan ekologis.
Wilmar juga berharap agar semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, dapat bersinergi dalam menjaga kelestarian Danau Toba. Ia menginginkan agar ada transparansi dalam setiap kebijakan yang diambil, terutama yang berkaitan dengan lingkungan. Tanpa transparansi, kata Wilmar, kepercayaan publik akan terkikis.
Ia juga mengajak masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengawasi dan menjaga lingkungan Danau Toba. Kesadaran kolektif, menurut Wilmar, adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan danau sebagai warisan alam dan budaya. “Masa depan Danau Toba ada di tangan kita semua,” pungkasnya. D|Red.
Baca artikel menarik lainnya dari
mediadelegasi.id di GOOGLE NEWS.






