Dunia Kesehatan di Era Disrupsi

Era Disrupsi
Amalia Rahmah Harahap. Foto:D|ist

Oleh | Amalia Rahmah Harahap

BADAI era digital ke dunia kesehatan tak lagi dapat dihindari. Sebagai makhluk hidup, hanya yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang bisa bertahan dan berkembang, termasuk kemampuan beradaptasi terhadap kemajuan teknologi informasi.

Belakangan, era disrupsi menjadi perbincangan. Era disrupsi ini merupakan perubahan mendasar yang sifatnya destruktif, menggantikan seluruh cara kerja yang lama dengan sistem pembaruan digital berbasis teknologi yang membuat sesuatu dianggap lebih mudah, lebih cepat,  lebih murah dan berkembang cukup dinamis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disrupsi mengartikan, hal tercabut dari akarnya.

Bacaan Lainnya

Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Kemunculan transportasi daring (online) menjadi salah satu dampak yang paling populer di Indonesia.

Di era disrupsi kita harus mempunyai pilihan, membentuk ulang (reshape) atau menciptakan yang baru (create). Jika kita memutuskan untuk reshape, maka yang harus dilakukan inovasi dari produk atau layanan yang sudah dimiliki. Sedangkan jika ingin membuat yang baru, tentunya harus berani memiliki inovasi yang baru sesuai dengan kebiasaan konsumen.

Keberadaan teknologi di masa sekarang berkembang sangat pesat. Berbeda dengan pengetahuan mengenai teknologi di masa lalu. Teknologi berkembang di berbagai bidang. Dan tidak terkecuali pada bidang kesehatan.

Untuk rancangan profesi kesehatan kedepannya, dunia kesehatan Indonesia saat ini dihadapkan pada dua dimensi tantangan. Melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang harus mampu melakukan kendali mutu dan biaya dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Di sisi lain dihadapkan pada tantangan global yang harus mampu berkompetisi dalam memberikan pelayanan kesehatan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional.

Fasilitas kesehatan di Indonesia harus mampu melakukan transformasi pelayanan kesehatan melalui berbagai strategi antara lain dengan inovasi disrupsi.

Dalam industri jasa layanan kesehatan di Indonesia pun tengah dihadapkan dalam momentum besar akan munculnya layanan disrupsi ini. Mengingat para CEO nya terlalu nyaman untuk melakukan inovasi berkelanjutan (Sustaining Innovation) sehingga menjauhkan penyedia layanan ini kepada para konsumennya.

Rumah sakit dikembangkan dengan investasi yang masif untuk dapat melayani pasien dengan teknologi dan para ahli dengan keahlian terbaru, dengan harga yang semakin tak rasional.

Fenomena ini sebagai implikasi adanya disrupsi layanan kesehatan. Perkembangan teknologi yang berjalan cukup pesat menuntut kemampuan adaptasi dokter dan tenaga kesehatan lainnya agar siap menghadapi dinamika  four point zero ini. Salah satunya tetap upgrade ilmu dan senantiasa bekerja berbasis sistem.

Untuk menghadapi era disrupsi pada rancangan profesi kesehatan kedepannya, manusia bukan hanya dituntut untuk memiliki intelegensi/pengetahuan yang manual saja. Dalam bidang kesehatan, informasi yang beredar bebas sering kali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan menjadi hoaks yang menyesatkan masyarakat.

Oleh karena itu, tenaga kesehatan di era ini dituntut untuk dapat berinovasi dalam promosi kesehatan salah satunya promosi kesehatan digital untuk mengatasi tantangan tersebut.

Promosi kesehatan digital merupakan peluang dalam meningkatkan literasi kesehatan masyarakat mengingat sebagian besar penduduk Indonesia menggunakan smartphone, dapat mengakses internet, dan memiliki media sosial.

Tentunya tenaga kesehatan harus siap dan sigap menghadapi era disrupsi dengan memiliki etos kerja, sikap terbuka, serta mampu menjadi problema solving untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat.

Tenaga kesehatan diharapkan untuk lebih berinovasi dan memahami teknologi dengan matang guna untuk bekal dalam menghadapi era disrupsi atau era revolusi industri 4.0. *disarikan dari berbagai sumber | Penulis: Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat UIN Sumut

Pos terkait