Romo Budi menyebut persaudaraan yang sejati dibangun ketika manusia membuang semua prasangka dan dengan penuh kasih memandang positif siapapun.
Ia mencontohkan indahnya keberagaman seperti alat musik saxofon, artinya ada yang berukuran kecil, sedang dan besar.
Ketika saxofon dipergunakan secara sendiri-sendiri dipastikan tidak bisa berfungsi menciptakan karya orkestrasi yang baik.
Namun, ketika ditiup secara bersama dengan dibarengi spirit dan nafas kebaikan, maka akan melahirkan keindahan menjadi sesuatu yang mempersatukan dan memperkuat persaudaraan.
Akar rumput
Kota Solo, kata dia, patut dijadikan sebagai salah satu contoh daerah dengan gerakan akar rumput kerukunan bersama seniman, budayawan, penyair, generasi muda dan elemen masyarakat lainnya.
Forum dialog Ngopi Kebangsaan tersebut juga menghadirkan narasumber lain, yakni Dr. Aloys Budi Budi Purnomo, Pr dari unsur Katolik yang juga pengajar program doktor ilmu lingkungan Unika Soegijapranata Semarang.
Narasumber dari unsur Kristen adalah Retno Ratih, M.Th., M.A., pendeta GKJ Manahan Solo.
Forum diskusi bertajuk Ngopi Kebangsaan kali ini menghadirkan narasumber, yakni Dr. Aloysius Budi Purnomo, Pr dari unsur Katolik yang juga adalah pengajar program doktor ilmu lingkungan Unika Soegijapranata Semarang, dan Retno Ratih, M.Th, MA selaku pendeta Gereja Kristen Jawa Manahan Solo.
Pemateri lainnya adalah Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Solo KH. Muhammad Mashuri, SE, M.Si, Sugito, S.Pd dari Dewan Pengurus Sapta Darma Solo, Ida Bagus Komang Suarnawa dari unsur Agama Hindu, Bhante Dammamito dari unsur Agama Buddha, Js Tjhie Djiwatman dari Dewan Rohaniawan Matakin Solo.
Sugito mewakili Dewan Penguru Sapta Darma Solo membuka pemaparan dengan mengangkat pesan ‘Jauhkan dari Kedengkian’.
Dalam korelasinya dengan hubungan keseharian, ia menjelaskan bahwa dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara harus diawali dengan menjauhi rasa dengki.
Sementara itu, Bhante Dammamito yang juga mewakili Bhikku Pembinaan Umat Buddha Yogyakarta mengutarakan soal strategi demi mencapai kebahagiaan yang ditinjau dari ajaran Buddhis.
“Kalau hidup kita didasari saling memberi dan berbagi, maka kita dapat rukun antara satu dengan yang lain. Lalu menjadi orang suka berkumpul dan berkata-kata yang menyenangkan,” tambahnya.
Narasumber lainnya, yakni Js Tjhie Djiwatman dari Dewan Rohaniawan Matakin Solo memaparkan tentang upaya merajut kerukunan yang mesti didasari dengan menjauhi rasa permusuhan.
Pernyataan hampir senada juga diutarakan Ida Bagus Komang Suarnawa yang juga Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia atau PHDI Kota Surakarta.
Menurutnya, ajaran luhur agama adalah konsep pengajaran yang berdasar pada nilai kebenaran dan keadilan, sebagaimana terkandung di dalam Pancasila.
Sedangkan Romo Aloysius Budi Purnomo, Pr menganalogikan semangat harmonisasi yang mampu dihidupkan dengan adanya peran dari masing-masing anak bangsa yang memang sudah ditakdirkan untuk dilahirkan berbeda.
“Keberagaman itu indah ketika dihayati tanpa prasangka dan curiga. Menghargai keberagaman merupakan cerminan dari keimanan,” tuturnya.
Mewakili umat Kristen, Pimpinan Gereja Kristen Jawa jemaat Manahan Solo, Pendeta Retno Ratih dalam paparannya antara lain mengenalkan ajaran Kristiani yang bertumpu kepada kasih.
“Konsep kasih memiliki arti yang sangat luas tanpa memandang perbedaan latar belakang, termasuk ketika hasus mengasihi orang yang memusuhi diri kita sendiri,” kata Retno.
Ia mengingatkan bahwa jika permusuhan diselesaikan dengan permusuhan permusuhan, maka dipastikan tidak akan menciptakan perdamaian.
Dalam konteks keimanan, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Solo KH. Muhammad Mashuri, menegaskan bahwa konsep tertinggi dalam keimanan dalam ajaran Islam adalah memahami dan mempraktikkan apa yang dimaksud dengan hakikat.
Ditambahkannya, ketika seorang penganut ajaran Islam sudah mencapai level hakikat, maka dirinya sudah “selesai” dengan dirinya sendiri, sehingga dia tidak akan mengganggu hak orang lain.
Karena itu, ia menyayangkan jika sampai saat ini masih ada penganut agama Islam yang mengusung fanatisme berlebihan hingga menjadi dasar pembenaran untuk melanggar hak orang lain.
“Banyak yang masih melanggar hak orang lain dan banyak yang masih fanatik berlebihan,” ujar Kyai Mashuri. D|Red