Samosir-Mediadelegasi: Geopark Kaldera Toba lahir dari harapan besar: membangkitkan kembali kejayaan kawasan Danau Toba yang sempat bersinar pada era 1980-an namun kemudian redup akibat kerusakan lingkungan dan stagnasi sektor pariwisata. Penetapan Danau Toba sebagai kawasan super prioritas pembangunan nasional menyulut harapan baru.
Namun, perjalanan panjang pengelolaan Geopark Kaldera Toba justru mempertontonkan betapa lemahnya konsistensi dan arah kepemimpinan dari 2012 hingga 2025. Konsep geopark mulai diperkenalkan di Danau Toba sejak 2012, yang melahirkan Inspiring Geopark Kaldera Toba, dan akhirnya ditetapkan sebagai Geopark Nasional pada 2014.
Kelembagaan pertama dikomandoi oleh birokrat Dr. Sabrina Dali Munthe. Namun, pada sidang UNESCO di Jepang tahun 2015, usulan kenaikan status menjadi UNESCO Global Geopark (UGGp) ditolak. Lima rekomendasi dikembalikan. Bukannya segera dibenahi, proses ini malah membuka babak panjang tarik-menarik kepentingan kelembagaan.
Setelah dua kali ditolak (2015 dan 2018), barulah pada 2020 Geopark Toba menyandang status resmi sebagai UNESCO Global Geopark. Namun, pencapaian ini datang bukan dari kinerja kelembagaan daerah, melainkan karena intervensi langsung dari Menteri Pariwisata saat itu, Arief Yahya, yang turun tangan hingga ke kantor pusat UNESCO di Paris.
Sayangnya, meski status TC UGGp diraih, pekerjaan rumah tidak diselesaikan. Enam rekomendasi baru dari UNESCO hingga kini belum dituntaskan. Bahkan, kelembagaan pasca-pengakuan UNESCO justru melemah. Gubernur Sumatera Utara membentuk BP TC UGGp melalui Pergub No. 48 Tahun 2020 dan menunjuk Ir. Mangindar Simbolon, MM sebagai Ketua.
Dalam rentang waktu 2012–2025, tercatat enam pemimpin dengan latar belakang berbeda. Catatan menunjukkan bahwa gaya birokrasi cenderung lamban, kurang progresif, dan tidak fleksibel dalam merespons tuntutan UNESCO. Sementara kepemimpinan militer lebih cepat dalam eksekusi teknis, namun lemah dalam membangun pendekatan partisipatif jangka panjang.