P Siantar-Mediadelegasi: Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, meningkatnya kasus pelanggaran hak anak di wilayah hukum Sumatera Utara, sudah sepatutnya dan segera dibangun Gerakan Nasional Memutus Mata Rantai Pelanggaran Hak Anak Berbasis Komunitas.
“Gerakan di berbagai daerah ini mulai dari tingkat Desa, Kampung, Kelurahan, Kecamatan sampai pada tingkat Kota, Kabupaten dan Provinsi di Sumatera Utara dan segera Revisi UU RI tentang Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA),” tegas Arist Merdeka Sirait saat beraudiensi dengan Kapolres Kota Siantar AKBP Fernando dam Jajaran Pemerintahan Kota Pematang Siantar, Rabu lalu.
Menurut Arist Merdeka Sirait, dari hasil Kunjungan Kerja yang dilakukan Komnas PA bersama Tim Litigasi dan Advokasi untuk Rehabilitasi Sosial Anak di Sumatera Utara, menemukan banyak fakta dan data anak menjadi pelaku dan korban kekerasan pada anak adalah anak itu sendiri.
Data yang berhasil dikumpulkan Tim Litigasi dan Advokasi untuk Rehabilitasi Sosial Anak dari berbagai sumber di Sumatera Utara dari kunker itu, 52 persen kasus kekerasan seksual, dan ada ditemukan data 42 persen pelakunya adalah selain orang terdekat Anak, juga adalah anak itu sendiri. 12 persen dalam bentuk kenakalan dan 22.50 persen dalam kejahatan seksual.
Lebih lanjut Arist Merdeka mengatakan, fakta menunjukkan kasus-kasus yang dilakukan anak sudah masuk kategori kekajahatan luar biasa dan berat.
“Lihatlah kasus kejahatan seksual disertai pembunuhan dan jasadnya dibuang di belakang rumah di tepi sawah sampai membusuk di desa Paya Gambar Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deliserdang yang dilakukan anak di bawah usia. Inikah yang disebut kenakalan anak,” ucap Arist.
Demikian juga kasus yang sangat tidak bisa diterima akal sehat atas peristiwa pembacokan terhadap anak usia 14 tahun siswa SMP di Sukabumi yang dilakukan 3 orang anak remaja seorang anak usia 14 tahun dengan cara membacok dengan clurit dan pada daat kejadian disiarkan secara langsung melalui media sosial. “Sekali lagi, inikah kenakalan anak atau justru kejahatan berat dan sadis,” katanya.
Kasus yang sulit diterima semua orang, kasus mutilasi yang dilakukan 2 orang satu diantaranya melibatkan anak di Sulawesi Selatan melakukan mutilasi dan mengambil sebagian organ tubuhnya dengan maksud dijual melalui layanan media sosial.
“Ada juga kasus kekerasan fisik dengan cara menendang dengan kaki hingga terjungkal, kemudian tertawa-tawa terhadap seorang ibu usia lansia yang mempunyai latar belakang mental yang dilakukan lebih dari 5 orang siswa SMP di salah sati tempat di Tapanuli Selatan, Sumateta Utara, sekali lagi apakah ini merupakan tidak kenakalan anak,” jelas Arist.
BACA JUGA: Empat Hari di Sumut, Arist Merdeka Sirait Berbagi Kasih ABI
Peristiwa lain, tekah terjadi serangan kekerasan seksual bergerombol (gengRAPE) yang dilakukan 10 orang, 7 di antaranya usia anak melakukan serangan seksual berulang di salah satu kota Kecamatan di Siborongborong, Tapanuli Utara terhadap seorang anak usia 16 tahun hingga korban trauma berat yang hanya dikenai hukuman sanksi sosial dan oleh korban dan keluarga korban adalah tidak adil.
Dia juga mengungkapkan, sejumlah kasus pelanggaran hak anak di Sumatera Utara yang dihimpun dari berbagai kantor pemerintah dan dari Unit PPA yang tersedia diberbagai Polres di Sumatera Utara semisal di Polres Deliserdang, Polres Siantar Polres Tapsel dan Polres Sinalungun, anak sebagai pelaku dan korban jumlahnya cukup tinggi dan hampir 52 persen lebih adalah di dominasi kasus kekersdan seksual 42.54 persen adalah usia anak dan sebihnya tindak pidana narkoba, pornografi dan curanmor.
“Hanya sedikit persentasi melakukan tindak pidana ringan atau kenakalan anak remaja yang dapat diselesaikan dengan pendekatan diversi atau keadilan restorasi,” katanya.