Kerusakan Ekologis Tapanuli Raya, Sidang Rakyat Mendesak

Bukti kerusakan ekologi pada bencana di Tapanuli mendesak Sidang Rakyat digelar. Foto: dok

Medan-Mediadelegasi: Kerusakan ekologis di Tapanuli Raya benar-benar melampaui batas. Deforestasi, sedimentasi Danau Toba, banjir berulang, pencemaran air, hilangnya habitat, dan hancurnya tanah adat adalah bukti bahwa pemerintah gagal menjalankan mandat konstitusi untuk melindungi rakyat.

“Sidang Rakyat mendesak, sebagai forum moral lintas agama, adat, akademisi, dan masyarakat sipil itu diproyeksikan menjadi ruang paling terbuka untuk mengaudit kerusakan hutan, air, dan Kawasan Danau Toba,” kata Shohibul Ansor Siregar, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumatera Utara, kepada wartawan, Jumat (12/12/) di Medan.

Menurutnya, jika Sidang Rakyat dapat digelar, adalah respons terakhir masyarakat, negara dan korporasi tidak mampu lagi menyediakan kebenaran ekologis.
Siregar juga menegaskan, forum yang sebaiknya digelar di Pearaja memiliki makna strategis karena diinisiasi oleh lembaga moral yang memiliki legitimasi sosial kuat. HKBP, sebagai institusi agama terbesar di Tano Batak, bahkan di Indonesia.

Dia juga mengungkapkan bahwa Sidang Rakyat akan menghadirkan berbagai pihak yang selama ini dianggap bertanggung jawab atas degradasi lingkungan, termasuk: pejabat pemerintah pusat dan daerah, instansi kehutanan, lingkungan hidup, dan tata ruang, korporasi kehutanan, tambang, energi, dan pariwisata, serta kelompok masyarakat adat dan korban bencana.

“Korporasi yang selama ini beroperasi di Kawasan Danau Toba dan Tapanuli Raya harus duduk sama rendah dengan rakyat dan menjawab pertanyaan mengenai dampak kegiatan mereka. Ini bukan forum basa-basi. Ini forum kebenaran,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa para akademisi dari berbagai universitas juga akan mempresentasikan data ilmiah, mulai dari peta deforestasi, analisis hidrologi Danau Toba, hingga catatan mutu air dan tanah.

Siregar menegaskan Sidang Rakyat tidak berhenti pada kritik, tetapi akan melahirkan rekomendasi kebijakan yang disusun melalui Deklarasi Pearaja. Dokumen tersebut akan disampaikan kepada Presiden RI, DPR, KLHK, serta pemerintah provinsi dan kabupaten.

“Kami menuntut moratorium total pembukaan hutan baru, pengetatan izin tambang dan proyek besar yang merusak sempadan Danau Toba, serta kewajiban restorasi ekologis bagi seluruh perusahaan. Rakyat sudah terlalu lama hanya jadi korban,” ujar Siregar.

Pos terkait