Mencermati kasus pembunuhan tersebut, Arist menilai pendekatan keadilan restoratif yang diwujudkan melalui proses diversi menurut SPPA belum mujarab untuk memulihkan hak korban maupun perbaikan tabiat pelaku anak.
Doktrin rehabilitasi dalam UU SPPA, menurut Arist, justru membuat hukum tampak melempem di hadapan anak-anak yang kepribadian dan tindak-tanduknya makin agresif.
Ditambahkannya, sekalipun perbuatan sadis yang dilakukan oleh tiga orang remaja itu bukan berdiri sendiri, namun hampir dapat dipastikan bahwa perbuatan tersebut telah dipengaruhi berbagai persoalan sosial anak yang muncul di lingkungan anak, diantaranya anak sudah kehilangan orientasi pengasuhan yang baik dan benar, bahkan kehilangan orang-orang disekitanya sebagai panutan dan teladan bagi anak.
Ia menyebut contoh, di rumah ada ayah dan ibu namun secara emosional dan sosial terkesan tidak ada orang tua yang dijadikan panutan. Seisi rumah seolah-olah dibiarkan melakukan aktivitas dan ritualnya masing-masing
Oleh sebab itu, ia menyarankan tentang pentingnya dilakukan kajian dan naskah akademis untuk menjawab tantangan dan perbuatan-perbuatan tindak pidana maupun perbuatan sadisme yang melibatkan anak.
“Sejumlah kalangan menilai, SPPA terlalu lembek di mata anak-anak yang tabiatnya kian lama kian mengeras,” ujarnya.
Terkait usulan tersebut, lanjut Arist, pihaknya bersama Tim Litigasi dan Advokasi untuk Rehabilitasi Sosial Anak telah mengagendakan bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM dan Ketua Komsi III DPR RI di Jakarta.
“UU SPPA sudah genap berusia sepuluh tahun sehingga sudah saatnya untuk direvisi,” ujarnya.
Khusus mengenai kasus pembunuhan yang dilakukan tiga orang remaja di Sukabumi Kota, sadis Tim Ligasi dan Advokasi Komnas Perlindungan Anak bersama Komnas Perlindungan anak Provinsi Jawa Barat mengimbau kepada para orang tua di seluruh Indonesia agar memberi perhatian lebih terhadap pergaulan anak remaja dan proses tumbuh kembang anak. D|Red