Jakarta-Mediadelegasi : Pidato Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Mohamad Hasan (Tok Mat), di Dewan Rakyat, Kuala Lumpur, telah memicu perdebatan sengit, bahkan hingga ke Indonesia. Tok Mat, dalam pidatonya, menyinggung isu sensitif perbatasan laut antara kedua negara, khususnya mengenai Blok Ambalat di Laut Sulawesi.
Tok Mat dengan tegas menyatakan bahwa wilayah maritim yang mencakup Blok ND6 dan ND7, yang terletak di dalam Peta Baru Malaysia 1979, adalah bagian dari Laut Sulawesi, bukan Blok Ambalat seperti yang disebut oleh Indonesia. Ia bahkan mengklaim bahwa putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002 tentang Pulau Sipadan dan Ligitan semakin memperkuat posisi kedaulatan Malaysia di wilayah tersebut.
Tok Mat menekankan pentingnya penggunaan terminologi yang akurat dan mencerminkan posisi kedaulatan dan hak hukum Malaysia atas wilayah yang diklaim. Pernyataan ini langsung memicu reaksi dari berbagai pihak di Indonesia.
Sebelumnya, Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, juga telah menyoroti permasalahan perbatasan ini. Ia menegaskan komitmen pemerintah Malaysia untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah Sabah, termasuk wilayah maritim yang berbatasan dengan Indonesia. Namun, Anwar juga menyatakan keinginannya untuk menyelesaikan polemik ini secara damai dan melalui jalur diplomasi.
Di Indonesia, pernyataan-pernyataan dari pihak Malaysia ditanggapi langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Ia sepakat dengan Anwar Ibrahim bahwa penyelesaian masalah perbatasan harus dilakukan secara damai dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Prabowo menekankan pentingnya itikad baik dari kedua negara untuk mencapai solusi yang adil.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, juga menyatakan komitmen Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur diplomasi. Ia menegaskan bahwa Indonesia akan mengedepankan dialog dan negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Baik Presiden Prabowo maupun Menteri Sugiono menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia sebagai negara tetangga dan sekutu. Mereka berharap agar perdebatan ini tidak mengganggu hubungan bilateral yang telah terjalin selama ini.
Dalam pidatonya pada peringatan 58 Tahun ASEAN (ASEAN Day), Menteri Sugiono kembali menekankan pentingnya dialog dan diplomasi dalam menyelesaikan permasalahan di antara negara-negara anggota ASEAN. Ia berharap setiap negara ASEAN dapat menjunjung tinggi prinsip-prinsip tersebut.
Peneliti Geospasial Hukum Laut UGM, I Made Andi Arsana, menjelaskan kronologi awal mula perselisihan Blok Ambalat. Ia mengatakan bahwa secara formal, penggunaan istilah Laut Sulawesi lebih tepat daripada Blok Ambalat, karena nama-nama wilayah laut umumnya didasarkan pada kesepakatan internasional.
Andi Arsana menjelaskan bahwa nama Blok Ambalat muncul setelah Indonesia melakukan pengkaplingan di area Laut Sulawesi pada tahun 1966 untuk eksplorasi tambang, tanpa ada kesepakatan dengan Malaysia. Namun, Malaysia juga melakukan hal yang sama, menciptakan blok-blok seperti ND6 dan ND7, yang sebagian tumpang tindih dengan klaim Indonesia.
Guru Besar Risiko Logistik Maritim ITS Surabaya, Saut Gurning, menambahkan bahwa perbedaan interpretasi batas laut antara Indonesia (negara kepulauan) dan Malaysia (negara pantai) menjadi akar permasalahan. Indonesia, sebagai negara kepulauan, berhak menarik garis pangkal lurus berdasarkan UNCLOS 1982, sedangkan Malaysia harus menarik garis pangkal dari garis pantainya.
Saut Gurning juga menyinggung Perjanjian Tapal Batas tahun 1969 yang menetapkan Blok Ambalat sebagai wilayah Indonesia. Namun, peta baru Malaysia tahun 1979 bertentangan dengan perjanjian tersebut.
Potensi sumber daya alam di Blok Ambalat, khususnya migas, menjadi faktor yang memperkeruh situasi. Kedua negara sama-sama mengklaim wilayah tersebut, yang berpotensi memicu konflik.
Para ahli sepakat bahwa penyelesaian masalah perbatasan ini harus dilakukan melalui jalur diplomasi dan negosiasi damai. Kerjasama dan itikad baik dari kedua negara sangat penting untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.
Penyelesaian sengketa perbatasan ini tidak hanya penting bagi Indonesia dan Malaysia, tetapi juga untuk menjaga stabilitas dan keamanan regional di Asia Tenggara.






