Pakar hukum tata negara dan politik, Dr Muchtar Pakpahan SH MA, dalam bukunya ‘Budaya Poilitik dan Hukum Pemerintahan Batak Toba’ (1999, hal, 3) menyebutkan ada latar belakang timbulnya aksi pencurian di daerah Batak dulunya. Pertama, akibat kesenjangan sosial ekonomi yang membuat orang lain iri karena tak punya harta. Kedua, faktor kemiskinan yang mendorong orang menjual harta dan ternak orang lain, dan ketiga adanya ambisi atau kelompok yang ingin memperkaya diri.
“Kasus pencurian di daerah Batak sejak dulu masuk kategori perkara besar yang harus di-proses hukum pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat adat setempat yang disebut ‘Raja Bius’. Pencurian sebagai tindak kriminal ketika itu dinilai sejajar kesalahan atau dosa perbuatan pembunuhan, penganiayaan, perampasan hak (tanah atau harta warisan), perkelahian akibat sengketa jatah adat (parjambaran), perzinahan dan lain-lain,” katanya.
Bentuk hukuman kepada si pencuri dan pelaku kejahatan lainnya di Kampung Batak itu bervariasi, ada yang dihukum fisik berupa pemasungan 10 hari (sampulu ari peasong), denda uang atau barang, diarak keliling kampung dan dipermalukan di hadapan orang banyak, hingga pengusiran ke kampung lain, semacam deportasi.
Sistem ‘rapot bius’ berupa sidang tokoh masyarakat desa dan tetua adat ini, di daerah Toba dan Humbang disebut Rungguan atau Parluhutan. Di Samosir disebut Toguan. Hasil dari sidang rapat atau rapot bius ini pada umumnya berupa keputusan atas proses musyawarah dan mufakat sebagai putusan hukum dan aturan adat, yang disebut ‘patik dohot uhum’.