Wilmar Simandjorang: Mendidik Algoritma atau Jiwa? Dilema Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

Wilmar Simandjorang (Foto:Ist)

Samosir-Mediadelegasi : Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (AI), dunia pendidikan dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah tujuan utama pendidikan adalah sekadar menghasilkan individu yang mahir secara digital, atau membentuk manusia yang berakhlak dan bijaksana?

Pertanyaan ini membawa kita kembali kepada pemikiran klasik John Locke (1632–1704), seorang filsuf Inggris yang gagasannya tentang pendidikan tetap relevan hingga abad ke-21.

Melalui karya-karyanya yang monumental, seperti “Some Thoughts Concerning Education” (1693) dan “An Essay Concerning Human Understanding” (1690), Locke menekankan bahwa pendidikan sejati bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter, penalaran moral, dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.

Bacaan Lainnya

Bagi Locke, pendidikan dimulai dengan pembentukan karakter. Ia berpendapat bahwa kebajikan adalah kebutuhan mendasar bagi setiap individu, karena tanpa kebajikan, kebahagiaan sejati tidak akan terwujud.

Locke menekankan pentingnya penguasaan diri (self-government), yaitu kemampuan untuk mengendalikan keinginan dan mempertimbangkannya dengan akal sehat. Anak-anak perlu dilatih sejak dini untuk menunda kepuasan sesaat demi mencapai kebaikan yang lebih besar di masa depan.

Dalam konteks Indonesia yang sedang beradaptasi dengan revolusi digital, gagasan ini sangat relevan. Dunia maya menawarkan kebebasan tanpa batas, tetapi juga membuka peluang bagi penyimpangan etika. Oleh karena itu, pendidikan kita tidak hanya perlu mengajarkan literasi digital, tetapi juga menumbuhkan literasi moral dan spiritual.

Locke dengan tegas menentang praktik pendidikan yang keras dan menakutkan. Ia percaya bahwa disiplin sejati tumbuh dari penalaran yang sehat, bukan dari rasa takut.

Menurut Locke, pendidikan harus membangkitkan rasa ingin tahu alami pada anak, bukan menekannya. Proses belajar harus dibuat menyenangkan dan interaktif, bukan kaku dan penuh tekanan.

Di era kecerdasan buatan, di mana pembelajaran sering kali bergantung pada algoritma dan sistem evaluasi digital, pesan Locke ini menjadi pengingat penting agar pendidikan tetap berpusat pada manusia (human-centered learning), bukan hanya pada angka-angka.

Locke dikenal luas dengan konsep tabula rasa, atau “lembaran kosong”. Ia berpendapat bahwa manusia dilahirkan tanpa pengetahuan bawaan; semua ide dan pemahaman diperoleh melalui pengalaman, baik melalui indra maupun refleksi pikiran.

Gagasan ini menjadi dasar pandangan empiris dalam pendidikan modern, yang menekankan bahwa anak belajar melalui pengalaman, bukan sekadar hafalan.

Namun, dari sudut pandang pendidikan Kristen, pandangan Locke ini tidak sepenuhnya dapat diterima secara teologis. Alkitab mengajarkan bahwa manusia tidak dilahirkan netral, melainkan telah membawa natur dosa sejak dalam kandungan.

Pos terkait