Guru Sodungdangon adalah pria jejaka tua yang memang sudah sempat menikahi si Boru Bontar secara sah dan meriah juga (adat Batak tempo dulu), setahun sebelumnya. Hanya saja, sehari menikah, si Dukun Hamang kemudian pamit hendak merantau ke kampung lain. Bulan ke bulan hingga setahun ternyata tak pulang-pulang juga. Para orang tua dan keluarga serta tetua adat setempat, serta si Boru Bontar sendiri, akhirnya sepakat pasrah melupakan si Hamang, dengan ‘vonis’ pria atau suami yang tidak bertanggung jawab.
Hingga suatu hari, si putri cantik Bontar bertemu dengan sang pangeran ketika menemukan sebuah layang-layang sutera saat akan pulang mandi dari sungai. Soalnya, layang-layang sutera itu ternyata milik si pangeran sendiri, yang terbang melayang dari pantai ketika berlangsung pesta dan sayembara rebut layangan bagi para gadis yang ingin jadi permaisuri si pangeran.
Si Boru Bontar tak bisa berkata apapun ketika mendadak bertemu lagi dengan si Hamang di atas titi Aek Sibundong itu. Si hamang sakti minta Si Bontar ditinggalkan di situ dengan alasan masih isterinya hasil pernikahan sah, tapi si pangeran tegas menolak karena dia juga sudah menikahinya dengan sah, sehingga terjadi debat-tengkar sengit.
‘Kita bertarung saja, tunjukkan semua ilmumu, siapa di antara kita yang lebih jago. Kalau kau menang, perempuan ini jadi isterimu dan kalian boleh pergi. Tapi kalau aku yang menang, dia tetap jadi isteriku dan tinggalkan dia di sini,” ujar si Hamang Guru menantang duel.
Pertarungan seru ternyata berakhir seri (draw) dan terhenti pas matahari terbenam, namun masih saling emosi. Si Hamang tiba-tiba mencetuskan ide ‘opsi’ tragis, bahwa tubuh si permaisuri Boru Namotung harus dipenggal ‘bagi’ dua. Situasi tegang menyeramkan ketika menyaksikan kepala Si Bontar ditebas hingga terpenggal dan terpisah dari badannya.