GKJI Protes Menkopolhukam Soal Perkara Lahan PTPN2

GKJI Protes Menkopolhukam Soal Sengketa Lahan PTPN2
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (kedua kiri) dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (18/7). Foto: HO

Medan-Mediadelegasi: Gerakan Karya Justitia Indonesia (GKJI) Sumatera Utara (Sumut) memprotes pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Mekopolhukam) Mahfud MD yang dinilai berusaha mengintervensi perkara lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 2 di Desa Penara Kebun, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang.

“GKJI sejak dulu konsisten menghormati hukum dengan ini memprotes intervensi itu. Bila ada novum baru, silahkan ajukan PK (Peninjauan Kembali) di lembaga resmi. Jangan memprovokasi di luar lembaga peradilan,” kata Ketua GKJI Sumut R. Effendi Siboro di Medan, Rabu (19/7).

Effendi menegaskan, pihaknya tidak sependapat dengan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyebutkan bahwa banyak kejanggalan dalam proses pemeriksaan perkara sengketa lahan yang diperkirakan mencapai 464 hektar tersebut.

Bacaan Lainnya

Tidak hanya itu, ia menepis pernyataan Mahfud dalam konferensi pers di Jakarta, baru-baru ini yang terkesan mencurigai perjuangan para petani untuk memperoleh hak secara sah atas lahan tersebut sebagai bentuk pencaplokan lahan PTPN II yang dikendalikan oleh mafia tanah.

“Kalau ada sinyalemen yang menyebutkan bahwa ada pihak lain berniat membeli lahan itu, mungkin saja. Itu merupakan hak rakyat, terserah rakyatlah nantinya apa mau jual atau mengelola sendiri . Yang jelas itu diluar konteks perkara,” ujar dia.

Ia mengungkapkan, lahan yang diklaim sebagai milik 232 kepala keluarga (KK) petani di Desa Penara Kebun, Kecamatan Tanjung Morawa mulai digugat oleh PTPN II sejak tahun 2011.

Dalam perkara perdata tersebut, Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam tahun 2011 telah memenangkan gugatan petani, lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan tahun 2012 dan dikuatkan lagi oleh keputusan Mahkamah Agung (MA) tahun 2013.

Bahkan, kata dia, upaya hukum PK yang diajukan oleh PTPN II tahun 2016 juga ditolak oleh MA.

Pascakeputusan MA tersebut, sebanyak 234 KK mengajukan eksekusi tetapi PN Lubuk Pakam menundanya karena tahun 2018 PTPN2 memperkarakan objek yang sama dengan alasan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) PTPN2 adalah sah secara hukum.

Terkait dengan gugatan yang diajukan pihak PTPN2 tersebut, PN Lubuk Pakam tahun 2018 memenangkan PTPN2 yang juga dikukuhkan Pengadilan Tinggi Sumut, namun ditolak oleh MA pada tahun 2020 dengan alasan nebis in idem (penah dimohonkan dan diputus).

Berdasarkan keputusan MA itu, sebanyak 242 KK memohon lagi eksekusi lahan yang prosesnya diawali dengan pengukuran ulang atau konstatering terhadap lahan PTPN2, tetapi tetap mendapat penolakan dari PTPN2.

Dikatakan Effendi, sungguh naif di era reformasi sekarang ini yang memposisikan supremasi hukum sebagai panglima malah saat hendak dilakukan konstatering, sejumlah orang yang mengatasnamakan Serikat Pekerja Perkebunan (SPP) PTPN2 malah melakukan penghadangan.

Lebih lanjut ia memaparkan bahwa upaya PK yang diajukan untuk kedua kalinya oleh pihak PTPN2 dinilai mengulangi drama hukum tahun 2018.

“Alasan pengajuan PK yang kedua tersebut terkesan mengada ada karena novum yang diajukan seolah dicari-cari lagi, yakni dengan tuduhan dugaan pemalsuan Surat Keterangan tentang Pembagian Tanah Sawah dan Ladang (SKTL) yang diterbitkan tanggal 20 Desember 1953,” ucapnya.

Sebagaimana diinformasikan, Menkopolhukam Mahfud MD bersama perwakilan Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Sumut membedah kasus dugaan mafia tanah dalam sengketa lahan milik PTPN2 di Deli Serdang.

“Kami bedah kasus atas putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Sumut, mengenai tanah negara di Tanjung Morawa, Deli Serdang, seluas 464 hektare. Itu aslinya milik PTPN2 tiba-tiba di PN (Lubuk Pakam) dikalahkan,” ujar Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (18/7).

Dalam bedah kasus tersebut, lanjut dia, mereka menemukan sejumlah kejanggalan, di antaranya terdapat kesalahan penulisan lokasi perkebunan, yakni di Kecamatan Tanjung Merawa yang seharusnya ditulis Tandjoeng Murawa.

“Namun dalam surat keterangan yang diduga palsu itu, ditulis Tanjung dengan ejaan baru.

Tanjung yang dikenal ejaan sudah tahun 73, ejaan yang disempurnakan. Itu sangat jauh. Dan di depan pengadilan, para saksi atau terdakwa sekali pun mengakui bahwa dia tidak pernah punya tanah itu, tidak pernah melihat aslinya. Katanya, hanya dibisiki oleh temannya,” sebut Mahfud. D|Red

Pos terkait