Menjaga Agar Kemarahan Rakyat tak Meledak

Menjaga Agar Kemarahan Rakyat tak Meledak
Jacob Ereste | Jurnalis Senior

KEMARAHAN rakyat yang terpendam, pada  puncak klimaksnya akan menjadi lahar mendidih yang tak mampu dikendalikan oleh kekuatan apapun. Karena lahar yang mendidih itu akan mengalir dan melabrak apa saja yang ada di hadapannya tanpa bisa dielakkan, kecuali kalah dengan pasrah.

Itulah ketakutan yang paling menakutkan. Sebab kita yang ada di sekitarnya akan terdampak juga, atau bahkan bisa menjadi bagian dari lahar yang mendidih itu untuk melumat apa saja yang ada, termasuk diri kita sendiri. Sebab kemarahan yang memuncak bisa menjadi bencana yang tak terduga dan mampu diprediksikan sebelumnya oleh siapapun.

Yang acap menjadi penyulut kemarahan rakyat ini bisa saja bermula dari beban ekonomi yang terasa  semakin berat. Kesulitan memperoleh pekerjaan yang bisa diandalkan untuk  memberi penghasilan untuk hidup. Tapi juga bisa diakibatkan oleh tekanan psikologis dari situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya serta keagamaan yang runyam, bising dan gaduh.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: Membangun Jiwa dan Raga Bangsa

Sementara upaya untuk sedikit mengendurkan ketegangan yang bersifat psikologis itu tak menemukan cara yang terbaik dalam mengatasinya. Apalagi akibat tekanan atas hak misalnya, karena lahan dan pekarangan  serta ladang yang terancam diambil paksa pengusaha atau penguasa seperti yang marak terjadi di berbagai daerah dan tempat.

Sengketa lahan  di Indonesia tidak kalah banyak dibanding tindak korupsi yang semakin menambah kejengkelan rakyat. Memang ada diantaranya yang beranjak dari rasa kedengkian, tapi tidak sedikit mereka yang menganggap perilaku semacam itu pantas dikutuk.

Usulan terhadap pelaku tindak pidana korupsi agar dihukum mati, sudah berulang kali diusulkan, namun tak disahkan juga oleh   parlemen yang selalu merasa tetap mewakili suara rakyat. Toh, usulan hukuman mati terhadap koruptor tidak juga menjadi perhatian. Boleh jadi — bila hukuman mati terhadap koruptor ini diberlakukan — korban pertama dan terbanyak adalah mereka sendiri yang ada di parlemen itu.

Jadi, akumulasi dari kejengahan rakyat terhadap situasi dan kondisi yang sumpek di negeri ini sudah semacam ilalang kering yang bisa tersulut api kemarahan kapan pun waktunya. Maka itu, paparan ini untuk ikut mengingatkan agar pemerintah bisa bersikap lebih bijak mengantisipasi kemungkinan yang bisa terjadi kapan pun dan dari daerah mana pun.

BACA JUGA: Menulis Itu Ekspresi Pribadi yang Sejati

Senyampang belum terlanjur menjadi sesal yang akan merugikan kita semua. Dan upaya untuk mencegah agar kemarahan rakyat tidak sampai meledak, harus kita sikapi dengan cara yang lebih bijak. Peristiwa 1998, agaknya dapat dijadikan pelajaran dan acuan yang baik agar peristiwa yang serupa tidak kembali berulang.

Penulis | Jacob Ereste | Jurnalis Senior

Pos terkait