“Bayangkanlah, bagaimana nyamannya dulu pejalan kaki di kawasan Kesawan. Mereka tidak terganggu oleh panas maupun hujan karena berada di bawah naungan arcade,” ungkap pria yang pernah menampilkan sejumlah pagelaran tunggal maupun berkolaborasi dengan sejumlah penyair dalam pertunjukan “Membaca Tradisi” dan “Katarsis” tersebut.
Apalagi, ungkap Teja, pembenahan kawasan Kesawan yang dipadukan branding kuliner Medan sebagai The Kitchen of Asia sebuah pemikiran yang cerdas.
“Untuk meraih itu tentu diperlukan usaha gigih dan langkah-langkah sistematis namun progresif. Proses produksi dan penyajian akan menambah nilai jual produk kuliner Medan yang beragam dan dapat mewakili kuliner Asia ini,” paparnya.
Untuk mewujudkan hal itu, bilang Teja, tentunya diperlukan kolaborasi dengan para seniman. Sebab, seni memberikan ruh pada pembangunan. Berbagai pergelaran kesenian, baik modern, tradisi, maupun kolaborasi tradisi dan modern, yang dikelola dengan baik akan menjadi atraksi menambah bobot wisata sejarah di kawasan Kesawan.
“Para sastrawan maupun dramawan dirangsang berkarya dengan mengambil inspirasi dari kisah-kisah bersejarah yang ada maupun yang berkaitan dengan kawasan tersebut,” sarannya.
Sebagai penutup, pencipta puisi “Akulah Medan” itu menyampaikan penggalan puisinya tentang Kota Medan. “Akulah Medan, cinta yang menjelma kota, saat Guru dan Putri Brayan menyatu jiwa, di pernikahan alir Deli dan Babura. Akulah Medan, cinta yang membasuh ambisi, saat Kolok menyilakan Kecik, menyuburkan harapan di tanah kebaikan. Jangan harap ku buang kenangan yang terus berbinar, di sayap kupu-kupu dan senja itu…” pungkasnya. D|Med-Gur|ril.