Medan-Mediadelegasi : Pengelolaan pariwisata saat ini tidak lagi hanya berorientasi pada keuntungan semata. Model pengembangan pariwisata modern, khususnya yang mengarah pada geowisata, menuntut keseimbangan antara aspek ekonomi, konservasi alam, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Geowisata, yang mengkhususkan diri pada pengalaman edukatif dan pelestarian geologi, menempati posisi teratas dalam grafik perbandingan jenis wisata. Hal ini karena geowisata memiliki komitmen tertinggi terhadap konservasi alam dan pertimbangan sosial terhadap masyarakat lokal.
Berlawanan dengan geowisata, wisata massal (mass tourism) berada di titik terendah. Tipe wisata ini seringkali mengabaikan dampak lingkungan dan sosial, karena fokus utamanya adalah mengejar volume pengunjung demi pendapatan maksimal, sebuah praktik yang dikenal sebagai “chasing for earnings”.
Praktik “chasing for earnings” ini merujuk pada strategi yang menempatkan keuntungan di atas segalanya, sering kali tanpa memedulikan etika, keberlanjutan, atau risiko jangka panjang. Dalam konteks pariwisata, perilaku ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian finansial, dan reputasi yang buruk.
Tantangan ini menjadi sangat relevan bagi pengelolaan Geopark Kaldera Toba. Sebagai geopark dengan keunikan geologi terbesar di dunia, kawasan ini juga menyimpan keanekaragaman hayati yang kaya. Jika pengembangannya hanya berorientasi pada keuntungan, maka kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat lokal akan terancam.
Oleh karena itu, pengelolaan Geopark Kaldera Toba harus menekankan dua aspek penting: pertama, konservasi alam yang meliputi pelestarian fitur geologi unik dan ekosistem di sekitarnya. Kedua, pertimbangan sosial yang fokus pada pengembangan ekonomi masyarakat melalui pariwisata yang bertanggung jawab.
Tanpa keseimbangan ini, dampak negatif seperti degradasi lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan ekonomi bagi penduduk lokal akan menjadi tak terhindarkan.






