Tolak RUU Penyiaran: Ada Upaya Bungkam Kebebasan Pers

koalisi-masyarakat-dan-pers-surabaya-aksi-tolak-ruu-penyiaran

Jakarta-Mediadelegasi: Aksi penolakan Revisi Undang-undang Penyiaran digelar di sejumlah daerah di Indonesia. Di Surabaya, jurnalis, mahasiswa, akademisi dan aktivis hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompres) Tolak RUU Penyiaran Surabaya menggelar aksi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (28/5).
Mereka melakukan aksi damai menolak semua pasal pembungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dan pelemah demokrasi di RUU Penyiaran. Massa membawa sejumlah poster tuntutan, berorasi, serta melakukan aksi teatrikal.

Ketua AJI Surabaya, Eben Haezer mengatakan, ada prosedur yang salah dalam penyusunan RUU Penyiaran. Proses yang salah ini, kata dia, kemudian disertai pula dengan munculnya pasal-pasal aneh yang tidak seprinsip dengan kemerdekaan pers.

“Misalnya 50b ayat 2c, yang secara spesifik melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Eben di sela aksi.

Menurut Eben, dalam UU Pers 40 Tahun 1999 sudah diatur bahwa kerja pers dilindungi oleh UU. Maka tentu RUU Penyiaran bertentangan dengan hal itu. Pelarangan ini juga jelas berpotensi membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi.

“Ini juga melanggar kepentingan publik, karena haknya publik untuk tahu adalah hak asasi manusia, dan tugas itu, amanah itu dititipkan kepada jurnalis,” katanya.

Masalah lain ialah Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan lebih kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran.

“Di pasal itu KPI bisa menangani sengketa, itu bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers, yang di mana fungsi dari Dewan Pers menyelesaikan sengketa pers. Jadi di sini ada tumpang tindih,” ujar dia.

Lebih dari itu, kata Eben, ada banyak sekali pasal dalam RUU Penyiaran yang bermasalah. Contohnya soal hilangnya aturan terkait kepemilikan media, pasal yang membahayakan demokratisasi konten, kemudian pasal yang mengancam perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Eben juga mengungkapkan, RUU Penyiaran ini juga berpotensi mengancam independensi jurnalis dan media.

“Revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf Pasal 51E,” kata Eben.

Munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif. Seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya

“Kami menuntut dan menyerukan memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Menyerukan agar seluruh insan pers, pekerja kreatif dan pegiat media sosial di Surabaya khususnya, untuk turut serta menolak RUU Penyiaran ini. Kami percaya bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi,” ungkapnya.

Di sisi lain, Koordinator Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir menduga RUU Penyiaran ini bakal jadi alat pemerintah untuk melemahkan praktik demokrasi di Indonesia.

“Revisi UU Penyiaran ini kami menduga bahwa ini adalah upaya dari rezim Jokowi di akhir periodenya sengaja memberikan kado buruk untuk membungkam praktik demokrasi di Indonesia,” kata Fatkhul.

RUU Penyiaran, kata dia, patut diduga menjadi upaya pemerintah untuk membangkitkan semangat Orde Baru. Misalnya dengan pasal yang dengan jelas melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi dan sejumlah pasal lainnya.

Pos terkait