Selain arloji tata waktu, sejak dulu kampung-kampung Batak sudah membuat sistem ‘tata desa’ yang disebut ‘Parik Huta’, benteng pagar alam atau buatan untuk mencegah masuknya maling atau penjahat lain. Pagar alam misalnya bambu-bambu rimbun yang berduri, pepohonan berdaun tajam atau rawan senggol (berderik bila disentuh), tembok-tembok batu, atau selokan sekeliling desa dengan lebar tertentu sekaligus difungsikan sebagai alur irigasi sawah setempat.
Selain itu juga, untuk lebih mudah mengetahui datangnya maling, bila lolos dari gerbang (harbangan), warga desa di daerah Batak dulunya membangun rumah model kolong atau rumah panggung. Di kolong rumah itulah dulunya ditempatkan ternak-ternak yang pasti ribut dan bising bila diganggu orang lain (maling) atau binatang buas pemangsa. Bentuk rumah begitu masih tampak hingga kini, tapi tiidak fokus lagi untuk tangkal maling, karena fungsinya sudah beragam, tempat kayu-kayu bakar, alat-alat bertani, plus masih difungsikan untuk ternak-ternak.
Dari Harbangan ke Lapo
Seiring perubahan zaman, fungsi harbangan atau gerbang desa yang dulunya tempat mangkal para pengawal dan pengaman (Ulubalang/Satpam) desa, kini berubah jauh. Gerbang-gerbang di kampung Batak bahkan sudah lebih banyak yang punah tergerogot usia. Pos-pos ronda kampung yang sempat dibangun di des-desa perlahan juga jadi apkir karena para petugas ronda kampung lebih banyak dan lebih suka bergabung dengan warga lainnya di warung kopi atau lapo tuak. Selain bisa rileks mengatasi kejenuhan di antara warga pengunjung lapo hingga larut malam bahkan hingga jelang pagi, juga karena warga di lapo spontan langsung membantu petugas bila ada maling yang tertangkap beraksi malam itu.