Medan-Mediadelegasi: Komisi Nasional Peradilan Anak (Komnas-PA) mendesak agar Pemerintah dan DPR RI merevisi Undang-Undang Nomor11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di tengah banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak.
“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM perlu segera berkoordinasi dengan DPR untuk mempercepat penyusunan RUU SPPA yang baru agar menjadi undang-undang,” kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait di Jakarta, melalui keterangan tertulis yang diterima mediadelegasi.id Medan, Selasa (28/3).
Terkait usulan tersebut, lanjut Arist, pihaknya bersama Tim Litigasi dan Advokasi untuk Rehabilitasi Sosial Anak telah mengagendakan bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM dan Ketua Komsi III DPR RI di Jakarta.
Ia menjelaskan, tindakan kekerasan yang dilakukan anak-anak dewasa ini harus
dicermati semua pihak.
Fakta menunjukkan anak mudah melakukan tindak kekerasan, seperti tiga remaja berinisial DA (14), RA alias N (14), dan AAB alias U (14) membacok siswa SMP ARSS (14) asal Baros, Kota Sukabumi, hingga tewas sambil live Instagram (IG), pada Rabu 22 Maret 2023.
Kasus tindak pidana ini berawal saat korban mengirimkan pesan melalui WhatsApp kepada tiga pelaku yang isinya korban menuduh salah satu pelaku berinisial DA melakukan vandalisme atau mencoret dinding sekolah mereka.
Tidak terima atas tuduhan itu, ketiga pelaku berjanji bertemu di lokasi yang sudah disepakati untuk melakukan berkelahi satu lawan satu.
Berdasarkan keterangan dari Polres Sukabumi Kota, pelaku DA disebut berperan sebagai pembacok, RA sebagai perekam video siaran langsung di Instagram, sedangkan AAB yang membawa motor.
Pelaku anak yang berhadapan dengan hukum itu dikenai pasal berlapis dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Mencermati kasus pembunuhan tersebut, Arist menilai pendekatan keadilan restoratif yang diwujudkan melalui proses diversi menurut SPPA belum mujarab untuk memulihkan hak korban maupun perbaikan tabiat pelaku anak.
Doktrin rehabilitasi dalam UU SPPA, menurut Arist, justru membuat hukum tampak melempem di hadapan anak-anak yang kepribadian dan tindak-tanduknya makin agresif.
Ditambahkannya, sekalipun perbuatan sadis yang dilakukan oleh tiga orang remaja itu bukan berdiri sendiri, namun hampir dapat dipastikan bahwa perbuatan tersebut telah dipengaruhi berbagai persoalan sosial anak yang muncul di lingkungan anak, diantaranya anak sudah kehilangan orientasi pengasuhan yang baik dan benar, bahkan kehilangan orang-orang disekitanya sebagai panutan dan teladan bagi anak.
Ia menyebut contoh, di rumah ada ayah dan ibu namun secara emosional dan sosial terkesan tidak ada orang tua yang dijadikan panutan. Seisi rumah seolah-olah dibiarkan melakukan aktivitas dan ritualnya masing-masing
Oleh sebab itu, ia menyarankan tentang pentingnya dilakukan kajian dan naskah akademis untuk menjawab tantangan dan perbuatan-perbuatan tindak pidana maupun perbuatan sadisme yang melibatkan anak.
“Sejumlah kalangan menilai, SPPA terlalu lembek di mata anak-anak yang tabiatnya kian lama kian mengeras,” ujarnya.
Terkait usulan tersebut, lanjut Arist, pihaknya bersama Tim Litigasi dan Advokasi untuk Rehabilitasi Sosial Anak telah mengagendakan bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM dan Ketua Komsi III DPR RI di Jakarta.
“UU SPPA sudah genap berusia sepuluh tahun sehingga sudah saatnya untuk direvisi,” ujarnya.
Khusus mengenai kasus pembunuhan yang dilakukan tiga orang remaja di Sukabumi Kota, sadis Tim Ligasi dan Advokasi Komnas Perlindungan Anak bersama Komnas Perlindungan anak Provinsi Jawa Barat mengimbau kepada para orang tua di seluruh Indonesia agar memberi perhatian lebih terhadap pergaulan anak remaja dan proses tumbuh kembang anak. D|Red