Medan-Mediadelegasi: Mangihut Sinaga SH MH, anggota DPR RI Komisi III (bidang hukum) menyoroti penerapan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) dalam penyelesaian perkara pidana umum (Pidum), yang saat ini “populer” diterapkan baik di lembaga penegak hukum kejaksaan maupun kepolisian di Indonesia.
Dengan RJ, perkara pidum tersebut tidak sampai ke persidangan, berhenti di tingkat penuntutan di kejaksaan atau tingkat . Penerapan RJ disorotinya, karena hingga saat ini belum ada Undang Undang (UU) khusus mengatur pelaksanaan RJ, karena masih berdasarkan Perja (Peraturan Jaksa Agung) dan Perkap (Peraturan Kapolri), sehingga belum ada keseragaman aturan mengatur penerapan RJ ditingkat kejaksaan dan kepolisian.
Selain belum ada UU-nya, RJ bisa pula dilaksanakan beberapa lembaga penegak hukum yang berbeda, seperti kejaksaan dan kepolisian dengan aturan masing masing yaitu Perja dan Perkap.
Menurut Mangihut yang mantan Staf Ahli Jaksa Agung, dan pernah menjabat
dua kali Kajati ini, perkara yang bisa diselesaikan dengan RJ dan lembaga mana yang berwenang melaksanakan RJ, perlu limitatif atau pembatasan yang diatur UU tersendiri, bukan hanya sebatas Perja atau Perkap.
Sorotan sekaligus dorongan penguatan penerapan RJ, kata Mangihut, telah disampaikannya saat RDP (rapat dengar pendapat) Komisi III DPR RI bersama Kajati Sumut Idianto SH MH, Kapolda Sumut Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto SIK MH dan Kepala BNNP Sumut Brigjen Pol Toga H Panjaitan serta jajaran ketiga institusi tersebut di Aula Tribrata Polda Sumut Jalan SM Raja Medan, Jumat (15/11/2024).
“Benar saya tadi ada bicara dengan teman teman para jaksa, memberikan
komentar supaya memperkuat pelaksanaan RJ ini. Kenapa? Karena RJ
sekarang lagi disukai masyarakat di Indonesia.
Dimana mana ini sangat disukai masyarakat. Bukan hanya masyarakat, pemerintah juga sangat mendorong karena manfaat RJ ini mengurangi beban pemerintah dan uang negara dalam penyelesaian perkara di Indonesia”, ungkap Mangihut kepada wartawan seusai mengikuti RDP, Jumat (15/11/2024).
Penjara Sepi di Belanda
Menurut dia, dulu RJ dilaksanakan di negara Belanda, dan sampai sekarang.
Perkara diselesaikan diluar persidangan pengadilan atau pengembalian kepada keadaan semula, makanya penjara sepi di Belanda.
Di Indonesia RJ ada yang diatur dengan Perja, dengan Perkap, juga dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), bahkan mungkin saja diatur Pergub. Ini terkesan berlomba lomba, semua membuat aturan sesuai kewenangan lembaganya.
Persoalannya, dimana kekuatan hukum mengikatnya kepada masyarakat luas, kalau penerapan RJ bukan UU yang mengaturnya? Pada hal ini mengatur sendi sendi kehidupan masyarakat supaya tercipta keadilan.
Oleh karena itu lah menurut Mangihut, tentang RJ ini harus dibuat UU yang mengaturnya secara komprehensif, sehingga ada keseragaman aturan pelaksanaan RJ yaitu UU, di seluruh Indonesia.
Jika dibuat UU tentang RJ, diharapkan tidak ada diskriminasi atau pembeda- bedaan sesuai selera, karena sudah berlaku bagi semua lembaga
penegak hukum dalam pelaksanaannya.
“Coba kalau sampai terjadi, selera pak
polisi beda, selera pak jaksa beda, selera pembuat Pergub beda soal RJ ini, kan bisa kacau balau?,” ujar Mangihut.
Sekarang ini lanjut dia, sangat tepat mendorong pembuatan UU RJ karena KUHAP lagi disusun. Mungkin bisa diagendakan membahas RJ ini di KUHAP.
Dan nanti perlu dijelaskan di KUHAP, siapa atau lembaga hukum mana pelaksana RJ ini. Supaya dalam penerapan RJ tidak ada kesan berlomba lomba, tidak ada yang tumpang tindih, tidak ada diskriminasi dan tidak ada suka suka, ujar Mangihut.
Masyarakat pun merasakan puas karena keadilannya dapat dimanfaatkan, dan para pelaksana UU juga bisa tegas dan memahami, karena penerapan RJ sudah diatur berdasarkan UU.
Jangan sampai pencuri pencuri sawit yang udah bolak balik sampai 5 kali berbuat di RJ kan terus.
“Itu tadi saya sampaikan soal RJ. Dan di Jakarta pun sudah saya sampaikan, baik di internal kami Komisi III DPR RI dan di rapat rapat di Komisi III “, kata Mangihut yang pernah Kajari Medan beberapa tahun lampau.