Rehabilitasi kawasan pesisir yang sudah tercemar, transformasi sistem budidaya ke model darat tertutup seperti bioflok yang lebih ramah lingkungan, diversifikasi ekonomi melalui ekowisata, pertanian organik, dan energi terbarukan, serta pendidikan lingkungan untuk semua pihak adalah kunci untuk menyelamatkan Danau Toba.
Saat ini, dunia sedang menyaksikan. UNESCO sedang mengevaluasi status Geopark Toba. Investor mulai melirik kawasan ini sebagai potensi green tourism. Diaspora mulai pulang untuk membantu desa-desa berkembang sebagai pusat budaya dan homestay berbasis komunitas. Namun, semua ini akan sia-sia jika pemerintah pusat dan daerah tidak tegas dalam berpihak pada pelestarian.
Pemerintah pusat harus menjadi penjaga konsistensi kebijakan lingkungan nasional, tanpa kompromi pada tekanan lokal atau ekonomi jangka pendek. Pemerintah daerah harus menjadi pelindung warisan kawasan, bukan fasilitator perusakan. Pelaku usaha harus mewujudkan ekonomi hijau, bukan kapitalisasi sumber daya. Akademisi dan peneliti harus memberikan data dan kajian ilmiah yang jujur. Komunitas dan pemuda lokal harus menjadi agen perubahan, bukan korban. Media harus membawa cerita ini ke ranah nasional dan global. Diaspora harus kembali dengan solusi, bukan nostalgia.
Masa depan Danau Toba berada di persimpangan jalan. Apakah ia akan dikenang sebagai contoh sukses pelestarian berbasis komunitas dan sains, atau menjadi bukti betapa pendeknya nafas kita dalam menjaga warisan leluhur? D|Red.
Baca artikel menarik lainnya dari
mediadelegasi.id di GOOGLE NEWS.






