Jakarta-Mediadelegasi : Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Zuly Qodir, menekankan pentingnya memahami syariat Islam dalam konteks kebhinekaan di Indonesia. Menurutnya, Islam moderat dapat menjadi jalan untuk menghadirkan syariat dengan cara yang menghargai kemanusiaan, hak asasi manusia, dan nilai-nilai kebangsaan.
Zuly mengatakan bahwa praktik syariat Islam di Indonesia tidak bertentangan dengan prinsip keberagaman karena dijalankan dengan cara yang menghargai perbedaan. Namun, masih ada kelompok radikal yang menuduh umat Islam moderat sebagai kaum munafik karena dianggap tidak mendukung penerapan syariat secara formal.
Tuduhan tersebut umumnya didasarkan pada penafsiran ayat Al-Qur’an yang keliru. Zuly menjelaskan bahwa penafsiran ayat harus dipahami secara kontekstual dan tidak dijadikan sebagai klaim pembenaran secara sepihak. Ayat-ayat tersebut memang benar demikian bunyinya, tetapi maknanya terbatas pada hukum keagamaan, bukan hukum kemasyarakatan atau kenegaraan.
Menurut Zuly, hukum keagamaan seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji memang harus ditaati umat Islam. Namun, hukum kemasyarakatan atau kenegaraan diatur oleh negara dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Penjelasan ini penting untuk dipahami oleh masyarakat luas, terutama di tengah maraknya narasi radikal yang menolak hukum negara dengan alasan melanggar hukum Tuhan.
Sejak awal berdiri, Indonesia telah menyatakan dirinya bukan sebagai negara agama. Namun, nilai-nilai keagamaan, termasuk Islam, tetap dihargai dan diakomodasi oleh negara. Bukti nyata dari akomodasi ini dapat dilihat dari perayaan hari-hari besar keagamaan yang diakui oleh negara, serta tidak adanya pelarangan terhadap aktivitas peribadatan.
Zuly meyakini bahwa Indonesia adalah negara yang menghargai kebebasan beragama. Prinsip ini sesuai dengan semangat Perjanjian Madinah pada zaman Rasulullah yang memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.