Selain itu, katanya, pola dan mekanisme tata niaga produk-produk sembako di negeri ini perlu didisain ulang agar stok minyak goreng dan produk sembako lainnya tetap stabil dengan harga yang terjangkau di pasaran secara berkesinambungan, masih perlu ditata ulang dengan kebijakan dan sistem yang menjamin adanya pasokan rutin.
Terlebih, ujar Tagor, pemerintah dalam hal ini Mendag sejak awal malah menyalahkan rakyat atau konsumen dengan alasan (tudingan) borong barang (panic buying) seolah konsumen yang boros. Lebih ironis lagi, adanya indikasi kelangkaan akibat aksi timbun barang dilakukan oleh para produsen dan distributor, bukannya sebagai temuan pihak pemerintah, melainkan cetusan dan ungkapan para ahli ekonomi dan bisnis atas nama publik.
Saat ini, harga minyak goreng di pasar niaga Sumatera Utara tampak bervariasi namun tidak separah sejumlah daerah lain di Indonesia walau harganya ikut melonjak. Arus belanja tidak sampai antri berjam-jam dan berkerumun di pasar atau swalayan maupun di pasar tradisional.
Dengan harga bervariasi (sesuai merek) minyak goreng kemasan di pasar swalayan atau super-mini market kini dibandrol Rp45.000,- hingga Rp48.500,- per-bungkus isi dua kilogram, sementara di pasar tradisonal atau kios-kios Rp45.000,-. Sementara, harga migor curah yang semula hanya Rp11.500,- ke Rp12.000,- per-kilogram, kini melonjak ke angka Rp17.000,- ke Rp18.000,- per kilogram. Lagi-lagi ironis, harga mahal itu malah menjalar ke bursa Bulog lokal (Sumut). D|Red