Jakarta-Mediadelegasi : Penangkapan Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru, oleh Polda Metro Jaya pada Senin (1/9/2025) malam menyulut perdebatan. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi menyatakan bahwa Delpedro ditangkap atas dugaan provokasi yang memicu kerusuhan di beberapa wilayah Jakarta. Ade Ary menyebut bahwa Delpedro diduga melakukan tindak pidana penghasutan, menyebarkan berita bohong, dan bahkan memanfaatkan anak-anak untuk tujuan tersebut.
Ade Ary menjelaskan, dugaan penghasutan ini telah diselidiki sejak 25 Agustus 2025. Proses pengumpulan fakta dan bukti telah dilakukan oleh tim gabungan penyelidik dari Polda Metro Jaya. Aksi provokasi yang diduga dilakukan Delpedro disebut terjadi di beberapa lokasi, termasuk di depan gedung DPR dan Jalan Gelora, Tanah Abang. Namun, Ade Ary belum bisa memberikan detail lebih lanjut karena proses penyelidikan masih berlangsung.
Pihak kepolisian masih terus mendalami kasus ini untuk mengumpulkan bukti-bukti tambahan. Ade Ary menegaskan bahwa penangkapan Delpedro merupakan bagian dari upaya hukum untuk menindak tegas pelaku yang diduga bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi di Jakarta.
Di sisi lain, penangkapan ini menuai reaksi keras dari Lokataru Foundation. Melalui akun Instagram mereka, Lokataru menyebut penangkapan Delpedro sebagai bentuk kriminalisasi dan ancaman serius bagi kebebasan sipil serta demokrasi di Indonesia. Mereka menuntut pembebasan Delpedro dan mendesak pihak kepolisian untuk menghentikan tindakan yang dianggap sebagai upaya membungkam suara kritis.
Lokataru berpendapat bahwa penangkapan ini merupakan upaya untuk membungkam aktivis dan organisasi yang berani mengkritik kebijakan pemerintah. Mereka menegaskan bahwa apa yang dilakukan Delpedro adalah bagian dari perjuangan untuk menegakkan hak asasi manusia dan keadilan.
Penangkapan Delpedro juga menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan masyarakat, terutama dari aktivis dan organisasi non-pemerintah. Mereka khawatir bahwa kasus ini akan menjadi preseden buruk dan berpotensi menghambat ruang gerak masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasi dan protes.






