Jakarta-Mediadelegasi: Pemerintah mengusulkan penerapan skema pajak multi tarif dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai yang semula tarifnya 10% naik menjadi 12%. Per oktober (29/20), regulasi ini telah disahkan dalam UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa hal tersebut bertujuan untuk mencapai keadilan bagi wajib pajak. Maka tarif umum akan dinaikkan dari 10% menuju 11% di tahun 2022 dan secara bertahap meningkat menjadi 12% di tahun 2025.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian Keuangan, kebanyakan negara menerapkan tarif PPN sebesar 11%-20%. Sedangkan Indonesia merupakan salah satu diantara hanya 21 negara yang menetapkan tarif PPN sebesar 10%.
Kenaikan pajak menjadi 12% di tahun 2025 memang mendorong pro-kontra. Meskipun berkontribusi positif terhadap pemulihan ekonomi pasca pandemi, namun kenaikan PPN tersebut akan memberikan dampak pada kenaikan harga yang membebani masyarakat, terutama terkait aspek daya beli masyarakat.
Dilihat dari sisi pengusaha atau pedagang, adanya kenaikan PPN dinilai mampu mempengaruhi penghasilan mereka, dengan naiknya PPN akan mempengaruhi daya beli masyarakat terutama masyarakat yang menjual kebutuhan pokok.
Dari sisi pemerintah kenaikan PPN dari 10% menjadi 12% akan memberikan dampak positif karena berhubungan terhadap potensi meningkatnya penerimaan pajak sehingga pemasukan pajak negara akan lebih besar.
Tentunya banyak masyarakat yang memberikan respons tidak setuju atas perubahan tarif PPN tersebut, seharusnya pemerintah memberikan subsidi terhadap kebutuhan pokok masyarakat agar daya beli masyarakat dapat menjangkau hal itu, bukan menaikkan harganya. Akibatnya masyarakat kecil sangat merasakan dampak dari kenaikan PPN karena daya beli yang rendah ditambah dengan naiknya harga.
Pemerintah juga menyiapkan opsi apabila perubahan ini menimbulkan perdebatan yaitu dengan menerapkan skema pengenaan PPN multi tarif.
Pengenaan PPN Multi tarif dengan range 5% hingga 25%.
PPN multi tarif ini sebenarnya sudah diterapkan oleh beberapa negara, untuk tarif rendah 5 atau 7% diperkenankan untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti kebutuhan pangan. Tarif 7% untuk jasa tertentu seperti pendidikan dan angkutan penumpang.
Untuk tarif tinggi di range 15-25% diperkenankan untuk barang yang tergolong mewah yang diperuntukkan bagi orang kaya seperti rumah, apartemen, barang mewah, berlian, dsb. Hal ini bertujuan untuk memberikan keadilan bagi orang mampu dan tidak.
Terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti kebutuhan pokok, jasa Pendidikan dan jasa kesehatan akan dikenakan tarif yang lebih rendah bahkan tidak dipungut PPN sama sekali. Bagi masyarakat kecil atau tidak mampu dapat dikompensasi dengan pemberian subsidi.
Namun, pada akhirnya setelah pengesehan UU HPP, skema ini dihapuskan karena beresiko mendorong sengketa dan meningkatkan cost of compliance. Sehingga, ditetapkanlah pajak tunggal senilai 11% di tahun 2022. Terkait implementasi kenaikan PPN ini nantinya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.D|Red