Jakarta-Mediadelegasi : Eks Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan menjadi ahli dalam sidang kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Dalam kesempatan tersebut, Maruarar menilai Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak bisa diterapkan pada tahap penyelidikan.
Maqdir Ismail, tim hukum Hasto, bertanya perihal Pasal 21 pada UU Tipikor soal perintangan penyidikan. “Pertanyaan saya kepada saudara ahli, ketika di dalam original intent seperti tadi, tidak ada pembicaraan tentang itu, dan kemudian ketika dituangkan di dalam rumusan pasal, juga tidak menyebut penyelidikan. Apakah boleh ditafsirkan bahwa penyelidikan itu masuk dalam apa yang dimaksud oleh Pasal 21 ini?” tanya Maqdir di ruang sidang.
Maruarar menjelaskan ada tiga karakteristik dalam hukum pidana, yaitu lex stricta atau harus tegas, lex serta atau pasti, dan lex scripta atau hukum tertulis. Menurutnya, hukum pidana adalah suatu hal yang tidak memperkenankan penafsiran sendiri secara ekstensif atau analogis.
“Jadi, kalau tegas sudah ditulis norma itu, tidak ada interpretasi yang kita bisa cari untuk membenarkan bisa diperluas atau dia bisa dipersingkat, tetapi lex serta harus menjadi suatu kepastian sehingga secara stricta atau ketat Itu mencegah suatu tafsir yang menghendaki keadaan seperti itu,” ujar Maruarar.
Maruarar melanjutkan bahwa pasal yang ditafsir tentang penyidikan dan penyelidikan dipisahkan secara tegas. Dia mencontohkan, Mahkamah Agung (MA) melarang upaya cegah tangkal seseorang ke luar negeri jika kasusnya masih dalam tahap penyelidikan karena dalam aturannya, cegah tangkal harusnya dilakukan pada tahap penyidikan.
“Jadi, penyelidikan menjadi sesuatu yang tegas dikatakan terpisah, tafsir-tafsir yang memperterangkan itu, itu tidak sesuai karakter daripada hukum pidana sebagai suatu lex stricta, tafsir itu tidak diperkenankan,” tuturnya.